A. Prinsip Kebijakan Fiskal Negara
Pada prinsipnya, suatu
kebijakan fiskal dilaksanakan untuk mendorong pertumbuhan ekonomi, melindungi
penduduk dari ketidakpastian dan pajak yang eksesif, serta untuk membantu para
pembuat peraturan perundangan dalam mengatasi kesulitan ekonomi. Instrumen yang
dapat digunakan pemerintah dalam penerapan kebijakan fiskal tersebut antara
lain: pajak, subsidi, dan anggaran. Menurut Joseph L. Bast, Steve Stanek, dan
Richard Vedder, Ph.D, ada sepuluh prinsip yang harus ditaati dalam penyusunan
kebijakan fiskal, yaitu:
1. Menjaga
tarif pajak yang rendah
Sejarah
membuktikan bahwa tarif pajak yang tinggi akan menghambat pertumbuhan ekonomi
dan kesejahteraan. Suatu paradox yang terjadi di Indonesia adalah dari tahun ke
tahun pajak semakin menjadi andalan pendapatan utama Negara dalam APBN. Namun
hal itu dapat dimaklumi sepanjang peningkatan diperoleh dari bertambahnya
jumlah Wajib Pajak yang mampu dan bukan dari peningkatan tarif pajaknya atau
jumlah item barang yang kena pajak.
2. Jangan
memotong pendapatan atas investasi
Para
investor datang untuk meningkatkan penghasilan atas investasi yang
ditanamkannya, sehingga jika dipotong pajak akan menurunkan minat investasi dan
menghambat pertumbuhan ekonomi. Hal ini telah dilakukan dengan tidak mengenakan
pajak atas dividen dari pembagian laba perusahaan. Namun untuk laba perusahaan
yang memperoleh dana investasi tersebut tidak perlu mendapatkan perlakuan
khusus (lihat prinsip No. 6).
3. Hindari
dosa pajak
Penerapan
pajak yang tidak fair dan bersifat regresif. Contohnya pengenaan PPN atas
barang dan jasa yang cenderung berganda. Hal ini sering dimanfaatkan oleh
perusahaan untuk mendapatkan restitusi pajak fiktif dan membebani masyarakat
sebagai pembeli akhir. Keadilan pajak seharusnya dapat mencontoh pada mekanisme
pemungutan zakat, misalnya zakat harta dikenakan sebesar 2,5% atas harta
minimal (nisab) yang setara dengan suatu hitungan emas tertentu (96 gram emas)
dalam satu tahun. Dimana jumlah prosentase zakat tetap, namun orang yang lebih
kaya akan membayar lebih banyak sesuai jumlah harta yang dimiliki.
4. Menciptakan
mekanisme penyusunan anggaran yang transparan dan akuntabel
Hal
ini dapat dilakukan dengan memusatkan perhatian dan sumber daya untuk
menyediakan pelayanan yang menjadi fungsi utama (the core functions)
pemerintah.
Suatu paradigma baru bahwa sejak penyusunan anggaran harus transparan dan menunjukkan tingkat kinerja yang hendak dicapai dari fungsi utama pelayanan publik, dimana hal ini harus didukung dengan mekanisme pelaporan dan evaluasi atas pencapaian kinerja yang terukur sesuai dengan perencanaannya.
Suatu paradigma baru bahwa sejak penyusunan anggaran harus transparan dan menunjukkan tingkat kinerja yang hendak dicapai dari fungsi utama pelayanan publik, dimana hal ini harus didukung dengan mekanisme pelaporan dan evaluasi atas pencapaian kinerja yang terukur sesuai dengan perencanaannya.
5. Melakukan
privatisasi atas Pelayanan Publik
Tujuan
privatisasi bukan sekadar untuk memperoleh tambahan pendapatan negara, namun
merupakan suatu cara yang tepat untuk mengurangi belanja pemerintah sekaligus
untuk meningkatkan mutu pelayanan publik tersebut.
Dengan prinsip tersebut maka prioritas privatisasi adalah
kepada perusahaan negara/daerah tidak efisien yang membebani keuangan negara
(merugi), dan bukan kepada perusahaan yang menguntungkan.
6. Hindari
pembayaran subsidi kepada korporasi
Pemberian
subsidi kepada korporasi atau pengurangan pajak secara selektif dapat
menimbulkan pertanyaan secara politik dan membawa dampak buruk bagi
perekonomian. Indonesia masih menerapkan susbsidi kepada korporasi misalnya
subsidi BBM kepada Pertamina, subsidi pupuk kepada PT Pusri, dan subsidi
listrik kepada PLN. Pemberian subsidi korporasi berdampak pada terciptanya
disparitas harga, kesulitan mengukur kinerja korporasi yang disubsidi, rumitnya
mekanisme pencatatan akuntansi pada sisi keuangan pemerintah dan sisi korporasi,
serta kesulitan dalam pemeriksaan atas jumlah subsidi yang harus dibayarkan.
7. Membatasi
pajak dan belanja pemerintah
Pembatasan
atas pajak dan pengeluaran pemerintah akan melindungi pemerintah dari tekanan
publik untuk membelanjakan surplus pendapatan pajak pada saat kondisi ekonomi
baik sebagai cadangan jika terjadi kesulitan ekonomi (krisis).
Prinsip ini menghendaki pada saat surplus anggaran,
pemerintah dapat melakukan penghematan dan menabung sebagai cadangan agar dapat
digunakan pada saat terjadi kesulitan ekonomi.
8. Membiayai
siswa dan bukan memberikan dana kepada sekolah
Berdasarkan
pengalaman pemberian dana langsung ke sekolah seperti block grant, dan BOS akan
sulit diukur pencapaian tingkat kinerjanya, dibandingkan dengan cara sekolah
menetapkan jumlah biaya pendidikan yang dibutuhkan oleh setiap siswa sesuai
pencapaian akademis yang diinginkan dan pemerintah harus membiayai siswa yang
tidak mampu. Misalnya dengan mekanisme pemberian beasiswa yang diberikan oleh
institusi atau yayasan, seperti Supersemar, Ausaid, USaid dll.
9. Reformasi
mekanisme pemberian bantuan kesehatan
Pengeluaran
untuk bantuan kesehatan biasanya menjadi tidak terkendali atau terjadi
penurunan mutu pelayanan yang diterima pasien dengan bantuan kesehatan.
Hal ini seperti yang terjadi pada program jaminan kesehatan masyarakat miskin dengan PT Askes (Askeskin) yang membengkak karena kurangnya pengendalian atas tagihan vendor kepada PT Askes dan pelayanan yang diberikan Rumah Sakit kepada pasien Askeskin mutunya sangat buruk.
Hal ini seperti yang terjadi pada program jaminan kesehatan masyarakat miskin dengan PT Askes (Askeskin) yang membengkak karena kurangnya pengendalian atas tagihan vendor kepada PT Askes dan pelayanan yang diberikan Rumah Sakit kepada pasien Askeskin mutunya sangat buruk.
10. Melindungi
pegawai pemerintah (PNS) dari politik
Pemerintah
harus mewaspadai penggunaan dana untuk keperluan politik dari pembayaran yang
dilakukan oleh pegawai pemerintah. PNS dalam jumlah yang besar merupakan vote
getter yang diperebutkan oleh partai dan kandidat, sehingga akan mempengaruhi
independensi dan tidak menutup kemungkinan penggunaan fasilitas dan dana
pemerintah untuk kepentingan kelompok tertentu, sehingga layak dipertimbangkan
bahwa PNS juga tidak perlu menggunakan hak pilihnya dalam Pemilu seperti halnya
anggota TNI dan POLRI. Selain itu berapa biaya Pemilu yang dapat dihemat dari
berkurangnya mata pilih dari PNS tersebut.
B. Matriks Resiko Fiskal (The
Fiscal Risk Matrix)
Issu-issu kontinjensi fiskal merupakan
bagian integral dari issu-issu resiko fiskal pemerintah secara menyeluruh,
yaitu, sumber-sumber kewajiban pembiayaan yang akan menjadi beban berat dari
otoritas fiskal suatu negara yang mungkin terjadi pada waktu yang akan datang.
Brixi dan Mody (2002)4 mengidentifikasi empat sumber utama resiko fiskal, yaitu:
(1) direct liabilities (kewajiban langsung); (2) contingent
liabilities (kewajiban kontinjensi/laten); (3) explicit liabilities (kewajiban
eksplisit); dan (4) implicit liabilites (kewajiban implisit).
Kewajiban-kewajiban langsung (direct liabilites) adalah
kewajiban-kewajiban yang dapat diprediksikan (predictable) yang dapat
terjadi dalam setiap kejadian. Kewajiban laten (contingent liabilites)
adalah kewajiban-kewajiban yang akan menjadi beban nyata fiskal dengan adanya
suatu kejadian tertentu. Sebagai bahan untuk kebijakan pemerintah, probabilita
terjadi dan besarnya uang untuk menutupi kewajiban laten tersebut adalah exogenous
(sebagai contoh, adalah jika terjadi bencana alam) atau endogenous (sebagai
contoh, implikasi-implikasi dari kelembagaan pasar atau bersumber dari
rancangan program pemerintah yang menciptakan moral hazards (sulit
membedakan antara yg berhak dan tidak berhak) di pasar). Beban laten fiskal
dapat juga meningkat dengan adanya kelemahan dari kerangka makroekonomi, sektor
keuangan, dan sistem-sistem regulasi dan pengawasan, dan lemahnya keterbukaan
informasi pasar. Beban-beban laten fiskal tersebut dapat juga bersumber dari
kegiatan-kegiatan kuasi fiskal–yaitu, kegiatan-kegiatan yang bersifat fiskal
tetapi dilaksanakan diluar anggaran pemerintah. Kewajiban-kewajiban eksplisit
adalah kewajiban-kewajiban pemerintah yang secara spesifik ditetapkan oleh
undang-undang atau kontrak. Pemerintah diwajibkan secara hukum untuk
menyelesaikan hal tersebut dalam waktunya. Kewajiban-kewajiban implisit
merupakan kewajiban moral atau kewajiban yang sudah sewajarnya menjadi beban
pemerintah (expected burden) tetapi bukan dalam nuansa hukum, yang
dikehendaki oleh masyarakat atau oleh karena adanya tekanan politis (political
pressures).
Kewajiban
ekplisit langsung pemerintah adalah kewajiban-kewajiban menurut hukum atau
kontrak pemerintah. Kewajiban-kewajiban ini merupakan subjek utama dalam
analisis fiskal konvensional. Hal tersebut adalah: pembayaran utang pemerintah,
pengeluaran-pengeluaran yang diatur dalam uu APBN dalam tahun anggaran yang
sedang berjalan, pengeluaran-pengeluaran dalam jangka panjang untuk pos-pos
anggaran yang diwajibkan oleh uu seperti gaji PNS dan pensiunan dan, di
beberapa negara bahkan dana sistem jaminan sosial secara keseluruhan. Diantara
pos-pos ini, literatur terkini sudah memfokuskan pada resiko-resiko dalam
ukuran dan struktur dari portofolio utang pemerintah (lihat Nars 1997, Bank
Dunia dan IMF 2000, dan Dooley 2000 untuk overview).
Kewajiban
implisit langsung pemerintah akan juga muncul dalam beberapa kegiatan, tetapi
pemerintah tidak diwajibkan secara hukum untuk melakukan tindakan.
Kewajiban-kewajiban yang demikian sering muncul sebagai konsekuensi dari
kebijakan pengeluaran pemerintah dalam jangka panjang. Mengingat sifatnya yang
implisit, kewajiban-kewajiban ini tidak dicantumkan dalam neraca-neraca
pemerintah (government balance sheets). Utamanya, kewajiban-kewajiban
seperti ini cenderung tinggi untuk bentuk-bentuk pengeluaran yang terkait
dengan demografis. Sebagai contoh, pembayaran pensiun PNS untuk masa yang akan
datang dalam sistem pay-as-you-go, jika tidak dijamin oleh uu, adalah
merupakan suatu kewajiban implisit langsung. Ukurannya mencerminkan ekspekstasi
kedermawaan dan yang berhak untuk mendapatkan pensiun dan demografi serta
pembangunan ekonomi di masa mendatang. Diantara kewajiban langsung implisit,
literatur terkini sudah secara khusus membahas kewajiban-kewajiban pensiun
pemerintah (World Bank 1994; IMF 1996; OECD 2000; Bodie dan Davis 2000).
Kewajiban
eksplisit laten (contingent explicit liabilites) adalah
kewajiban-kewajiban pemerintah yang jelas-jelas diatur dalam peraturan
perundang-undang yang berlaku, untuk melakukan pembayaran jika suatu kejadian
tertentu terjadi. Mengingat beban fiskal dari kewajiban fiskal eksplisit laten
adalah tidak terlihat sampai dengan waktu terjadinya, hal ini merupakan subsidi
yang tersembunyi, mengaburkan analisis fiskal, dan menyedot keuangan pemerintah
hanya pada waktu yang akan datang dan tidak dapat ditentukan kapan. Untuk
alasan itu, jaminan-jaminan pemerintah daerah dan pembiayaan melalui
lembaga-lembaga yang dijamin oleh pemerintah daerah kelihataanya secara politis
lebih menarik dari bantuan anggaran walaupun hal ini di kemuadian hari dapat
saja menjadi lebih mahal. Di pasar, kewajiban-kewajiban laten pemerintah dapat
dengan segera menciptakan moral hazards, khususnya jika jaminan
pemerintah mencakup seluruh dan bukan sebagian dari assets yang terkait
(underlying assets) dan seluruh serta bukan sebagian dari resiko bisnis
dan komersiel. Skim asuransi pemerintah daerah sering mengkaper resiko-resiko
yang tidak lazim diasuransikan, yang sangat besar dalam jumlah keseluruhannya.
Oleh karena itu, dari pada membiayainya sendiri dari fees, mereke meredistribusikan
kekayaan, dan mengandalkan pembiayaan pemerintah netto. Sejauh ini, penelitian
sudah memfokuskan pada issu-issu pengukuran dan manajemen jaminan-jaminan untuk
pinjaman (Mody dan Patro 1996; Lewis dan Mody 1997), jaminan-jaminan investasi sektor
infrastruktur (Chase Manhattan Bank 1996; Irwin dan lain-lain 1998),
lembaga-lembaga keuangan dan pembangunan pemerintah daerah (Yaron 1992),
jaminan-jaminan pensiun (Pennacchi 2002), asuransi simpanan bank (Leaven 2000;
World Bank 2001a), asuransi palawija (crop insurance) (Hueth dan Furtan
1994), dan skim-skim asuransi pemerintah daerah (U.S. GAO 1998; dan Feldman
2002).
Kewajiban-kewajiban
laten implisit (contingent implicit liabilities) tergantung pada ada
tidaknya suatu kejadian tertentu di waktu mendatang dan kesediaan pemerintah
untuk bertindak atau melibatkan diri. Kewajiban-kewajiban yang demikian
biasanya tidak begitu diperhatikan sampai adanya kejadian. Hal-hal yang menjadi
pemicu, resiko biaya, dan jumlah dana pemerintah yang dibutuhkan adalah tidak
pasti. Di banyak negara, sistem keuangan merupakan sumber kewajiban laten
implisit pemerintah yang paling parah. Pengalaman-pengalaman sudah menunjukan
bahwa pasar mengharapkan pemerintah memberikan bantuan keuangan melebihi
kewajiban hukum jika sistem keuangan berada di ujung tombak (lihat misalnya,
Claessens dan Klingebiel 2002; dan Bank Dunia 2001a). Otoritas fiskal sering
juga didesak untuk menutupi kerugian-kerugian dan kewajiban-kewajiban bank
sentral, pemerintah daerah, BUMN dan perusahaan-perusahaan swasta yang besar,
lembaga-lembaga pemerintah baik yang didalam maupun yang diluar (off budget)
operasi fiskal normal, dan lembaga-lembaga lain yang memiliki peran politis
yang penting.
Tabel 1
berikut ini secara sistematis menyajikan resiko fiskal pemerintah. Tabel ini
penulis terjemahkan dari Tabel 1.1. Brixi dan Mody (2002).
Table 1.1. Matriks Resiko
Fiskal Pemerintah
Sumber-Sumber
Kewajiban
|
Kewajiban
Langsung
(kewajiban
pada setiap komitmen)
|
Kewajiban-Kewajiban
Laten (kewajiban jika peristiwa tertentu terjadi)
|
Implisit
Kewajiban
Eksplisit Pemerintah (sebagaimana tercantum dalam UU atau kontrak)
|
•
Utang negara (surat utang dan sekuritas yang diterbitkan oleh pemerintah
pusat)
•
Komposisi pengeluaran (pengeluaran wajib)
•
Pengeluaran yang wajib dikeluarkan dalam jangka panjang (gaji dan pensiunan)
|
•
Jaminan yang diterbitkan oleh
pemerintah daerah dan kewajiban-kewajiban lain pemerintah daerah dan lembaga
pemerintah daerah dan sektor swasta ( bank pembangunan daerah)
•
Payung jaminan pemerintah untuk berbagai jenis pinjaman ( kredit KPR,
pinjaman pendidikan, KUT, kredit UKM)
•
Jaminan perdagangan dan kurs yang diterbitkan oleh pemerintah
•
Jaminan pemerintah untuk investasi swasta
Skim-skim
asuransi pemerintah daerah (asuransi simpanan bank, pendapatan dari dana
pensiun swasta, asuransi tanaman pangan, asuransi kebanjiran, asuransi resiko
perang)
|
Implisit
Kewajiban
moral implisit pemerintah pencerminan kelompok kepentingan dan kelompok
penekan
|
•
Pensiun masyarakat umum untuk masa mendatang ( lawan dari pensiun PNS) *
•
Skim-skim jaminan sosial *
•
Pembiayaan layanan kesehatan yang akan datang
•
Biaya rutin yang akan dikeluarkan nanti untuk proyek investasi pemerintah
sekarang
|
•
Gagal bayar pemerintah daerah atau lembaga pemerintah atau swasta atas
utang/kewajiban yang tidak ada koleteral
•
Kegagalan perbankan (talangan diluar asuransi pemerintah, jika ada)
•
Tunggakan kewajiban dari lembaga yang sedang diprivatisasi
•
Kegagalan dana pensiun tanpa jaminan, tssbungsn buruh, jaminan social
security
•
(perlindungan untuk investor kecil)
Kemungkinan
modal sendiri negatif dan atau gagal bayar bank sentral (kontrak valuta
asing, perlindungan mata uang domestik, neraca pembayaran)
•
Kebutuhan dana talangan lain (misalnya, sehubungan adanya arus balik dari
aliran modal)
•
Pemulihan lingkungan, bantuan bencana alam, pembiayan militer
|
Keterangan:
Tanda (*) menyatakan bahwa dalam kerangka ini, pelayanan seperti ini masuk
dalam kategori kewajiban implisit langsung pemerintah jika penyediaannya tidak
diwajibkan oleh Undang-Undang. Jika diwajibkan oleh Undang-Undang, maka pelayanan
seperti ini masuk dalam kategori kewajiban eksplisit langsung pemerintah.
Sumber: dialih bahasakan dari Polackova
(1998) dalam Tabel 1.1 Brixi dan Mody (2002).
C. Kerangka
Umum Pengurangan Celah Resiko Pemerintah
Brixi dan Mody (2002) mengemukakan tiga kerangka umum untuk
pengurangan celah resiko (risk exposure) pemerintah, yaitu: (1)
melakukan upaya sistematis (systematic measures); (2) pengendalian
menurut program; dan (3) solusi sektor swasta.
Table
1.2. Pengurangan Celah Resiko Pemerintah
Sumber
Resiko
|
Disain
Pengurangan Resiko
|
Pengurangan
Celah untuk Resiko yang Ditanggung
|
Jaminan-Jaminan
|
Tutup
hanya resiko-resiko tertentu seperti resiko politik/kebijakan
|
Atur resiko dalam
kewajiban langsung dan portofolio aktiva (misalnya, kurangi celah atas valuta
yang relevan jika resiko kurs dijamin pemerintah).
Bangun dana cadangan untuk seluruh jaminan-jaminan.
Batasi
total benefits yang dibayar s/d jumlah dana cadangan.
Yakinkan
kecukupan cadangan mentransformasikan dana cadangan ke perusahaan. Publik yang
sahamnya diperdagangkan dengan bebas.
|
Asuransi
Bencana
|
Buat batas maksimum santunan. Asuransikan resiko tengah dan
bukan resiko pertama.
|
Terbitkan obligasi
bencana (mungkin dalam paket bencana yang lebih mungkin terjadi).
Beli reasuransi
untuk resiko diluar dari yang layak untuk ditanggung oleh fiskal.
|
Asuransi
Simpanan
|
Wajibkan keterbukaan informasi, terapkan regulasi dan supervisi
yang ketat, sebelum pelaksanaan program asuransi simpanan.
Batasi
Maksimum Santunan.
Asuransikan
resiko tengah dan bukan resiko pertama.
|
Buat dana cadangan
terpisah.
Batasi total
benefits yang dibayar s/d jumlah dana cadangan.
Yakinkan kecukupan
cadangan dengan cara mentransformasikan dana cadangan ke perusahaan. Publik yang
sahamnya diperdagangkan dengan bebas
|
Dukungan
Harga
|
Manfaatkan sisi positif mekanisme lelang
Tutup
hanya resiko-resiko ter-tentu seperti resiko politik/kebijakan.
|
Beli
payoff-replicating derivativies.
Beli reasuransi.
|
Jaminan-Jaminan
Implisit ke Bank dan Perusahaan.
|
Buat
pengumuman dan laku-kan upaya untuk memini-mumkan moral hazard.
|
Upayakan lini
kredit kontinjensi dari IMF
|
Privatisasi
dan Penjualan Asset
|
Cari investor stratejik (pendapatan yang akan datang)
Maksimumkan pendapatan privatisasi
|
Gunakan penerimaan
untuk mengurangi kewajiban pemerintah atau kewajiban yang akan datang.
|
Pembelian
asset bermasalah
|
Bayar
sesuai dengan estimasi harga pasar (sebagian dari tujuan rekapitalisasi)
Perkenankan
mekanisme pasar mengatasi asset bermasalah (kuatkan posisi kreditur, proses
kebangkrutan, dan lain sebagainya).
Buat pengumuman dan upayakan untuk meminimumkan ekspektasi
kemungkinan perulangan pembelian asset pada waktu mendatang.
|
Jual asset
bermasalah secepat mungkin
|
Pajak
komoditi
|
Berlakukan basis pembayaran yang independen terhadap harga
komoditi..
|
Terbitkan obligasi
yang terkait komoditi.
Beli derivatives yang
terkait dengan komoditi..
Beli asuransi.
|
Pembayaran
kembali pinjaman langsung
|
Syaratkan
koleteral.
|
Beli asuransi gagal
bayar (ngemplang).
|
Sumber:
Dialibahasakan dari Tabel Brixi dan Mody (2002).
D. Kasus Indonesia
Brixi dan
Gooptu (2002) mengidentifikasi ada sepuluh jenis kewajiban kontinjensi fiskal
Indonesia, hingga akhir tahun 2000. Dari sepuluh jenis tersebut, empat
merupakan kewajiban kontinjensi eksplisit (kewajiban pemerintah yang tercantum
dalam UU atau kontrak), dan enam implisit (kewajiban moral pemerintah yang
merefleksikan tekanan kelompok dan publik).
Kewajiban-kewajiban
eksplisit adalah: (1) blanket guarantee atas simpanan bank (biayanya 600
trilliun rupiah dalam tahun 1997-99); (2) jaminan atas interbank claims;
(3) payung jamina n atas pinjaman non-utang negara oleh UKM, petani, Bulog, dan
lembaga lain; dan (4) jaminan perdagangan dan selisih kurs via bank ekspor,
BPPN, dan lembaga-lembaga lain. Sedangkan kewajiban-kewajiban kontinjensi
implisit adalah: (1) kerugian yang terkait dengan take-or-pay kontrak
dari perusahaan public utilities; (2) dukungan pada
perusahaan-perusahaan (pemerintah mungkin menutupi kerugian dan memikul
kewajiban non-jaminan dari badan usaha milik pemerintah dan swasta); (3)
subsidi yang terkait dengan harga beras dan BBM via BULOG dan Pertamina; (4)
adanya kemungkinan untuk bank rekapitalisasi lanjutan yang gagal mencapai CAR 8% pada
akhir tahun 2001; (5) adanya kemungkinan untuk rekapitalisasi lanjutan BI; dan
(6) adanya kemungkinan pengalihan kewajiban pemerintah daerah ke pusat.
Hasil
kajian menunjukan hasil yang berbaur (mixed results); positif dan
negatif. Positif artinya terdapat beberapa kebijakan fiskal yang memberikan
indikasi yang kuat bahwa pemerintah berupaya untuk mengurangi
kewajiban-kewajiban fiskal kontinjensi dan atau untuk mengurangi celah-celah
resiko fiskal pemerintah. Negatif artinya terdapat beberapa kebijakan fiskal
pemerintah yang bahkan memperbesar kewajiban fiskal kontinjensi dan atau
memperbesar celah-celah resiko fiskal pemerintah. Hasil positif dan negatif
tersebut akan dipaparkan secara berurutan.
1.
Hasil Positif
a. Upaya penurunan stok utang pemerintah
Perhatian
pada stok utang ini sangat penting sebab beban bunga, pembayaran cicilan,
dan porsi yang jatuh tempo, sangat mempengaruhi kemampuan pemerintah untuk
menyediakan anggaran pembangunan, pengurangan kemiskinan, dan pemeliharaan
jalannya roda pemerintahan. Selain itu, stok utang yang tinggi juga akan
mempengaruhi keyakinan pemodal asing dan suku bunga domestik. Dalam kaitan ini,
Bank Dunia (2003) menyatakan:
“Tetapi hutang pemerintah Indonesia masih memberikan tekanan
yang berat terhadap sistem fiskal. Pembayaran atas kewajiban-kewajiban hutang
yang jatuh tempo dewasa ini merongrong kemampuan pemerintah untuk
mempertahankan pengeluaran penting untuk pembangunan dan program-program yang
terkait dengan kemiskinan. Lebih jauh lagi, kekhawatiran terhadap
sustainabilitas hutang pemerintah berdampak atas keyakinan pemodal, yang
memengaruhi suku bunga domestik dan kemampuan Indonesia untuk menarik modal
asing. Tingginya hutang pemerintah juga meningkatkan kerawanan, sangat
membatasi kemampuan pemerintah untuk mengendalikan goncangan-goncangan baru,
dan hanya menyisahkan sedikit ruang gerak untuk mengelola ekonomi.”
Fakta menunjukan bahwa pengurangan stok utang telah menjadi pusat
perhatian pemerintah Indonesia. Komitmen pemerintah tersebut tertuang dalam
Program Pembangunan Lima Tahun (Propenas) tahun 2000 dan Rencana Pembangunan
Tahunan (Rapeta), mulai tahun 2001 s/d sekarang. Baik Propenas maupun Rapeta
secara tegas menargetkan penurunan stok utang menjadi dibawah 60% PDB. Komitmen
ini kelihatannya telah dilaksanakan dengan konsisten; stok utang pada akhir
tahun 2001 adalah 87% PDB, 2002 76% PDB, 2003 67% PDB, 2004 60,1%PDB, 2005
(proyeksi) 54,9% PDB.
b.
Reformasi Penganggaran APBN
Reformasi
penganggaran APBN sudah berlangsung sejak tahun 2001 dengan dirubahnya format
APBN dari T-Account menjadi I-Account yang antara lain secara
eksplisit memperlihatkan kondisi surplus/defisit. Ulfa dan Anggito (2003)
mengatakan “….Walaupun demikian, sebagian dari prinsip-prinsip dari kedua
kaidah14 tersebut
sudah dapat diterapkan secara bertahap. Misalnya, memindah bukukan komponen
rutin dari anggaran pembangunan ke pos anggaran rutin.”
Dalam
tahun 2004 dewasa ini, Departemen Keuangan, Bappenas, dan Sekretariat DPR RI
sedang mempersiapkan program reformasi pengangarann yang lebih komprehensif.
Program ini dinamakan GFMRAP (Government Finance Management Reform and
Accounting Procedure) dan mendapat bantuan pinjaman program dari Bank
Dunia, yang akan segera dimulai dalam semester kedua tahun ini juga.
Tujuan umum
dari GFMRAP adalah untuk membuat penganggaran yang lebih baik, mencakup: (i)
keterkaitan antara kebijakan, perencanaan, penganggaran dan pelaksanaannya;
(ii) penggunaan klasifikasi menurut GFS manual; (iii) penganggaran yang
berhorizon lebih dari satu tahun (MTEF); dan (iv) penganggaran yang berdasarkan
kinerja (Performance Based Budgeting). Sedangkan reformasi anggaran
tersebut terdiri dari empat komponen, yaitu: (1) unified budget; (2) budget
classification (klasifikasi anggaran) menurut GFS (government Finance
Statistic), mapping program yang hendak dilaksanakan dalam
klasifikasi fungsi dan klasifikasi ekonomi sesuai UU No. 17 tahun 2003; (3)
MTEF meminta Departemen/Lembaga mencatat kebutuhan dana pada TA. 2006 untuk
program yang telah ditetapkan pada TA 2005; dan (4) penganggaran berbasis
kinerja, meminta Departemen/Lembaga mencatat keluaran (output) yang
hendak dicapai pada TA 2005. Rencana tindak (plan action) dari program GFMRAP
ini dikelompokan dalam empat klasifikasi, yaitu: (1) planning and
budgeting process (termasuk unified budget); (2) budget
classification (GFS); (3) MTEF dan Forward Estimate;
dan (4) performance based budgeting (PBB).
2.
Hasil Negatif
Sebetulnya
ada beberapa hasil negatif yang dapat penulis kumpulkan sejauh ini. Walaupun
demikian, dalam makalah kecil ini penulis hanya akan memaparkan dua saja,
yaitu: (1) issu perberasan nasional; dan (2) issu lembaga penjaminan simpanan
(LPS) sebagai ganti dari the blanket guarantee system.
a.
Issu perberasan
nasional
Issu
perberasan nasional masuk dalam wilayah issu-issu kontinjensi fiskal Indonesia
melalui transmisi pembelian gabah petani, pembelian dan penyaluran beras untuk
masyarakat miskin (Raskin), operasi stabilisasi harga, dan termasuk pengadaan
dan pemeliharaan stok beras Bulog. Kontinjensi fiskal ini bersifat eksplisit
dan implisit. Eksplisit jika dana untuk kegiatan-kegiatan perberasan nasional
tersebut sudah dimasukan dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN)
dan realisasinya cenderung menjadi rutin. Implisit jika pos-pos pengeluaran itu
merupakan cadangan untuk mendanai kegiatan perberasan nasional. Atau, kebutuhan
dana untuk kegiatan perberasan nasional itu menjadi melonjak tajam dan dapat
saja melebihi pagu yang sudah ditetapkan oleh APBN. Dalam hal ini, Pemerintah
terpaksa mengalokasikan dana oleh karena kewajiban moral dan atau karena adanya
tekanan politis dan kelompok kepentingan yang kuat. Pertanyaannya sekarang
adalah apakah ada indikasi yang kuat bahwa Pemerintah sudah dan atau akan menangani
kontinjensi fiskal perberasan nasional ini dengan baik?
Pertanyaan tersebut dapat
dijawab melalui tiga pendekatan: (1) efektivitas kebijakan stabilisasi harga;
(2) efektivitas dan efisiensi kebijakan pembelian gabah/beras Bulog; dan (3)
efektivitas dan efisiensi pengelolaan stok beras nasional.
Kebijakan
stabilisasi harga terkait erat dengan beban kontinjensi fiskal Indonesia. Harga
beras yang tinggi dan fluktuatif akan memaksa Pemerintah untuk melakukan
intervensi baik melalui operasi pasar murni (OPM) maupun melalui operasi pasar
khusus (OPK). Beban fiskal akan semakin tinggi jika Pemerintah harus mengimpor
beras dengan volume yang besar dan dalam waktu yang singkat. Hal yang sama juga
terjadi dalam kondisi harga beras yang terlalu rendah. Pemerintah perlu
melakukan intervensi pembelian gabah petani untuk mengangkat harga ke tingkat
Harga Pembelian Pemerintah (HPP). Pembelian gabah petani dalam volume yang
besar dan waktu yang singkat juga akan memberikan tekanan fiskal yang tinggi.
Selanjutnya, pengelolaan stok beras nasional dapat meringankan dan dapat juga
memberatkan beban fiskal Pemerintah. Jika stok beras nasional dapat dikelola
dengan baik, maka beban fiskal Pemerintah akan berkurang, dan sebaliknya beban
fiskal Pemerintah akan semakin berat. Ketiga pendekatan ini akan penulis
diskusikan secara kritis berikut ini.
Langkah
strategis untuk menganalisis efektivitas dan efisiensi kebijakan stabilisasi
harga beras dan harga gabah petani adalah dengan merujuk ke perubahan peran
Bulog dalam dua periode: (1) 1977 s/d 1997 dan (2) Januari 1999 s/d Desember
2002. Dalam periode pertama, Bulog diberikan hak monopoli untuk mengimpor beras
dan dalam priode kedua hak tersebut sudah dicabut, sehingga para importir bebas
melakukan impor beras. Metodologi untuk mengukur stabilisasi suatu serie yang
umum digunakan adalah koefisien variasi (KV). Angka koefisien variasi yang tinggi menunjukan
stabilitas harga yang rendah atau dalam kasus ini menunjukan flukatuasi tingkat
harga beras yang lebih tinggi. Sebaliknya, angka koefisien variasi yang rendah
terkait dengan stabilitas harga yang lebih tinggi atau, dengan kata lain,
fluktuasi harga beras relatif lebih rendah.
Bappenas,
et.al (2003) melakukan uji stabilitas harga beras dan gabah kering giling (GKG)
untuk kedua periode tersebut diatas dengan menggunakan metode koefisien
variasi. Hasil pengujiannya menunjukan bahwa koefisien variasi baik untuk harga
beras maupun harga GKG adalah lebih rendah dalam periode Januari 1999 s/d
Desember 2002, periode impor beras dibebaskan, dibandingkan dengan yang ada
dalam periode 1977 s/d 1997, periode impor beras dimonopoli oleh Bulog.
Rata-rata 48 bulan KV untuk harga beras dalam periode monopoli Bulog adalah 12%
dan KV-nya sewaktu impor beras dibebaskan hanyalah sebesar 9,7%. Sedangkan
rata-rata 48 bulan KV harga GKG dalam periode monopoli Bulog adalah 14,3% dan
KV-nya sewaktu impor beras dibebaskan adalah 10,3%.
b.
Issu Lembaga Penjamin Simpanan
(LPS)
Kebijakan
awal program penyehatan perbankan di Indonesia yang dituangkan dalam Letter
of Intent (LOI) dengan IMF bulan Oktober 1997 berisikan empat unsur utama.
Pertama, pencabutan izin dan penutupan 16 bank kecil yang sudah sangat tidak
sehat. Pemilik bank kehilangan seluruh modal mereka dan simpanan bank sampai
dengan 20 juta rupiah (sekitar USD5.600 pada waktu itu) dijamin
pengembaliannnya oleh Pemerintah. Dikemudian hari, pada waktu sistem perbankan
nasional sudah pulih kembali, skim asuransi simpanan akan diterbitkan. Skim ini
akan dirancang untuk meminimalkan moral hazard dan melindungsi
deposan s/d jumlah tertentu (deposan kecil). Kedua, menerbitkan
kebijakan-kebijakan dan prosedur-prosedur yang tepat guna untuk memungkinkan
otoritas pengawas perbankan untuk bertindak dengan cepat menangani bank-bank
yang lemah tetapi masih sehat dengan memasukan mereka ini dalam program
penyehatan perbankan. Jika bank-bank dalam program penyehatan ini tidak segera
pulih kembali mereka akan ditutup. Sekitar 10 bank menyetujui untuk ikut dalam
program ini dan mereka akan ditutup pada akhir tahun 1998 jika gagal
mendapatkan tambahan modal baru. Dalam waktu yang bersamaan, Bank Indonesia
mengucurkan kredit likuiditas kepada bank-bank tersebut, yang tujuan utamanya
adalah untuk menjaga agar bank-bank tersebut dapat beroperasi secara normal.
Ketiga, bank-bank BUMN diarahkan untuk melakukan merger dan menerapkan
berbagai instrumen strategis untuk memaksimumkan penagihan piutang,
meningkatkan corporate governance, menoreh manfaat yang
setinggi-tingginya dari program privatisasi dan peningkatan partisipasi swasta
dalam governance (manajemen dan komisaris). Fakta dan data dikemudian
hari menunjukan bahwa pemerintah terpaksa menginjeksi modal kepada bank-bank
BUMN dalam jumlah yang sangat besar, dan tidak ada privatisasi bank BUMN sejauh
ini. Akhirnya, didalam LOI dikatakan bahwa pemerintah akan memperbaiki kerangka
kelembagaan, legal, dan regulasi perbankan. Sebagai contoh, UU dan
peraturan yang berlaku tentang bank sentral dan operasi bank-bank umum
(komersiel) akan direvisi yang mencakup unsur-unsur international best
practices, dan regulasi yang terkait dengan kepemilikan asing atas lembaga
keuangan di Indonesia akan dimodifikasi untuk memfasilitasi masuknya bank dan
pemodal internasional.
Upaya reformasi infrastruktur pengawasan sistem perbankan nasional
bertujuan bagaimana agar resiko bisnis suatu bank harus ditanggung sendiri oleh
para pemilik dan kreditur bank itu sendiri (pemilik simpanan bank disana).
Dengan kata lain, resiko kegagalan suatu bank harus dicegah untuk dialihkan ke
APBN yang nota bene adalah pengalihan beban ke rakyat banyak lebih-lebih kepada
mereka yang sangat miskin dan belum pernah menginjakkan kakinya di bank yang
manapun. Di sisi lain, a systemic bank run on (lumpuhnya sistem
pembayaran), yang mengandung eksternalitas negatif yang besar, perlu untuk
dicegah. Bagaimana caranya?
Pola yang diterapkan oleh Argentina adalah membekukan untuk
sementara seluruh simpanan
pada bank bermasalah itu tetapi hal ini menyebabkan penutupan sistem pembayaran
dan dampak negatifnya adalah demikian besar. Pola penjaminan semua simpanan bank (the blanket
guarantee) yang
berlaku di Indonesia dewasa ini walaupun berhasil mengatasi kelumpuhan sistem
pembayaran tetapi biayanya sangat-sangat tinggi dan terlebih lagi jauh dari
rasa keadilan.
Kebijakan alternatif yang sedang dibahas saat ini mencakup
pendirian Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) yang mirip-mirip the FDIC Amerika
Serikat. Sama halnya seperti the FDIC, hanya deposan kecil saja yang akan di
jamin oleh LPS. Settingnya juga kurang lebih sama ketika terjadi penutupan 16
bank pada awal krisis tahun 1997. Segera, jika ada indikasi suatu bank tidak solvent lagi, rush
akan terjadi utamanya bersumber dari penarikan dana oleh deposan besar dan
untuk mengatasi hal ini LPS, yang juga lembaga pemerintah, terpaksa mengambil
langkah pemberian Blanket Guarantee kembali. Beban sektor swasta kembali
dipikul oleh sektor publik; masyarakat banyak. Skenario seperti itu pernah
terjadi, antara lain, di Amerika Serikat dalam tahun 1984 ketika terjadi krisis
pada bank The Continenatal Illinois. The FDIC yang semulanya hanya menjamin
para deposan kecil, s/d US$100,000.00, terpaksa harus menjamin seluruh simpanan bank nasabah
The Continetal. “On May 17, the FDIC announced that it would guarantee all
of Conteinental Illinois’s deposits—not just those for $100,000 and less.”
(Mishkin, 1989, ebit).
Alternatif
untuk mencapai tujuan ganda: kegagalan sektor swasta tidak dialihkan ke sektor
publik dan sistem pembayaran masih tetap berjalan dengan baik diajukan oleh
McLeod (2004). Menurut pendapat pakar ini, hal yang perlu dipertimbangkan untuk
mengatasi kemungkinan berulangnya krisis perbankan di Indonesia adalah dengan
mengadopsi sistem kebrangkutan sektor swasta non-keuangan di Amerika Serikat
tetapi dengan modifikasi kecil untuk penerapan pada sektor keuangan
(perbankan). Ringkasan tahap-tahap yang perlu dilakukan adalah sebagai berikut.
Jika suatu bank memperlihatkan gejala-gejala yang bermasalah, yang antara lain
diindikasikan oleh: (a) merosot tajamnya saldo kliring di Bank Indonesia; dan
(b) melonjaknya kenaikan suku bunga interbank untuk bank tersebut, maka regulator dan atau lembaga pengawas perlu dan
wajib untuk melakukan: (a) Freezing on new lending and asset acquisitions,
and funds withdrawals; (b) Melakukan investigasi dengan cepat, yang hasil
investigasi tersebut mencakup: (i)Jika ternyata bank tersebut memang tidak solvent
lagi, freezing diperpanjang; (ii) Debt-equity swaps; beban
krisis ditanggung oleh pemilik dan deposan dan bukan oleh APBN; (iii)
Pembatasan kewenangan top manajemen lama; (iv) Tanggung renteng pemilik lama;
(v) Sistem pembayaran masih tetap berjalan dan pemilik simpanan kecil
diperkenankan untuk menarik simpanan mereka; (c) Hal-hal yang perlu diwaspadai
dari Badan Pengawas: (i) Mengucurkan kredit berisiko tinggi tanpa adanya
koleteral yang memadai (ii) Menyembunyikan dan atau memusnahkan dokumen kredit
yang sudah dikucurkan; (iii) Mengizinkan deposan menarik simpanan bank mereka;
dan (d) Untuk mengatasi hal tersebut diperlukan beberapa tindakan sebagai
berikut: (i) Top manajemen Badan Pengawas hanya dan hanya dapat diisi oleh orang-orang yang mempunyai
reputasi yang tinggi; dan perlu mengikutsertakan pakar-pakar dan atau praktisi
internasional untuk duduk dalam Badan Pengawas.
E. Program fiskal pengimbang yang
dikendalikan
Pada umumnya ada 3 corak program
fiscal yang dapat dipakai dalam suatu ekonomi yang mengalami kegoncangan
konjungtur dalam pendapatan dan lapangan kerja.
Anggaran Belanja yang Seimbang:
1. program
anggaran belanja yang seimbang
2. rencana
( committee for Economic Development ) C.E.D tenang suatu system yang otomatis
fleksibel
3. program
pengimbangan yang dikendalikan
Program anggaran belanja yang
seimbang dapat dijalankan dengan dasar pembelanjaan pemerintah yang tetap
selama konjungtur, atau dengan dasar menambah pembelanjaan selama tahun yang
tidak diperkirakan oleh C.E.D jikalau penerimaan pajak menaik dengan
pengeluaran-pengeluaran yang dikurangi depresi jikalau penerimaan pajak
menurun.
Bila pengeluaran telah
ditetapkan dan tidak berubah selama konjungtur, tingkat pajak akan diturunkan
dan dinaikkan dalam masa depresi sehingga dengan, penerimaan akan cukup
mengimbangi anggaran belanja yang sudah tetap itu, dalam praktek yang
sebenarnya, tujuan yang dicapai dengan apa yang disebut pebiayaan sehat,
didalam kenyataannya tidak pernah sepenuhnya terwujud. Dalam masa depresi yang
hebat, tidak mungkin mengimbangi anggaran belanja.
a.
Program
C.E.D:
Program C.E.D adalah program
mengenai anggaran belanja yang disiapkan oleh komite untuk pembangunan ekonomi
(C.E.D). Program ini disebut sebagai suatu kebijaksanaan menstabilkan anggaran
belanja.
Hal ini memerlukan pengeluaran
pemerintah yang tetap selama konjungtur, yang ditentukan atas dasar
kebutuhan-kebutuhan social, sesuai dengan nilai yang diletakkan oleh suatu
masyaraat demokratis pada dinas pemerintah. Namun hal ini membutuhkan tingkat
pajak yang tetap, disesuaikan untukmengimbangi anggaran belanja, misalnya bila
93% dari tnaga buruh dipekerjakan. Menurut anggapan orang, jika 96% dari tenaga
buruh telah dipekerjakan, hal itu merupakan keadaan full employment. Pada
keadaan full employment, struktur tingkat pajak yang tetap, seharusnya
menghasilkan surplus dalam anggarap belanja. Pada saat tingkat lapangan kerja dibawah
93%, akan terjadi deficit karena penerimaan pajak akan jatuh kalau pendapatan
menurun.
Laporan C.E.D itu menggambarkan
suatu kemajuan penting dalam pemikiran fiscal, dibandingkan dari apa yang
disebut pembiayaan yang sehat. Pengeluaran yang menimbulkan pendapatan memang
diusahakan supaya konstan, akan tetapi lebih banyak uang pajak akan diambil
dari umum daripada dibelanjakan oleh pemerintah. Dalam tahun depresi
pembelanjaan pemerintah akan melebihi pajak yang diambil dari umum, dan dengan
itu akan ikut member sumbangan kepada jumlah pengeluaran, baik pengeluaran
pemerintah maupun pengeluaran partikelir.
b.
Kritik
dan Anjuran C.E.D:
Program C.E.D sangat
baik selama dapat dilaksanakan akan tetapi gagal karena tidak memadai. Laporan
itu menunjukan mengenai cara, dengan ekonomi modern yang rumit bekerja, program
C.E.D adalah program menstabilkan anggaran belanja, yang merupakan anggaran
belanja yang distabilkan daripada anggaran belanja yang seimbang, akan tetapi
seluruh isi laporan itu mengemukakan lebih banyak fakta yang sesungguhnya
dengan rencana C.E.D itu adalah bahwa bukan saja akan beroleh pengangguran ang
lebih lama berlangsung, melainkan juga kemunduran dalam pendapatan dan lapangan
kerja yang drastis dan lebih tepat.
Program C.E.D tentang
budget dan pajak itu menyatakan bahwa kalau ada full employment, anggaran
belanja akan sedikit tidak seimbang, program tersebut tidak member jaminan,
bahwa system itu akan mencapai full employment, atau dalam keadaan khusus
mungkin tidak ada keadaan yang melebihi full employment.
Program C.E.D itu
nampaknya cukup memadai kalau ekonomi yang modern cenderung selalu menuju
kearah full employment, dengan kegoncangan yang tak seberapa. Anjuran dari
laporan ini dikemukakan dengan kepercayaan, bahwa jika digabungkan dengan
tindakan layak dibidang lain. Fluktuasi ekonomi akan dapat dibatasi sampai ke
tingkat yang sedang dari tingkat yang tinggi. Meskipun demikian tidak pula
meniadakan kemungkinan, bahwa barangkali akan menghadapi lagi suatu krisis
ekonomi yang besar seperti depresi yang hebat atau inflasi yang lebih besar.
Pengurangan atau penambahan dalam tingkat pajak dalam keadaan darurat akan
menjadi suatu alat yang paling efektif dan paling tidak berbahaya dari lpangan
yang tersedia. Terdapat anggapan bahwa keadaan darurat itu jarang terjadi dan
merupakan kekecualian saja.
c.
Program
Pengimbang yang Dikendalikan:
Suatu program
pengimbang yang memadai, program yag dengan cepat dapat digerakkan, sangat
flksibel dan dapat dipakai sebagai alat untuk melakukan penyesuaian serta
perubahan dengan segera, tidaklah mungkn dijalankan tanpa rencana jangka
panjang dan persiapan termasuk perbaikan dan pembangunan proyek perumahan serta
pekerjaan untuk umum. Kemungkinan penyesuaian yang fleksibel dalam program
konstruksi dan program pembangunan pemerintah yang lengkap yang berubah dalam
jangka panjang. Tetapi program pembelanjaan yang fleksibel tidak cukup. Hal
yang amat penting adalah suatu system pajak yang fleksibel, yakni bila ingin
melengkapi kebijaksanaan ant konjungtur yang efektif. Ekonomi modern yang
bergerak dengan cepat, dengan kecenderungan mengarah ke fluktuasi yang hebat
tidak dapat dikendalikan dengan efektif, kalau didasarkan atas struktur pajak
yang tidak berubah, yang ditetapkan untuk masa dua tahun atau lebih, atau lebih
buruk lagi sepanjang masa konjungtur. Meskipun begitu masyarakat disuatu negara
harus berfungsi, tidak saja sebagai roda
pengimbang (mengimbangi fluktuasi di sektor partikelir), melainkan juga sebagai
penyelenggara bagi dinas masyarakat yang penting serta untuk proyek pembangunan
dasar yang merupakan dasar dan bantuan bagi industry partikelir. Masyarakat
yang demikian itu membutuhkan program dari pemerintah yaitu program moneter dan
fiscal pengimbang yang dikendalikan.
No comments:
Post a Comment