Powered By Blogger

Friday 29 June 2012

Kebijakan Fiskal Lanjutan


A. Prinsip Kebijakan Fiskal Negara
Pada prinsipnya, suatu kebijakan fiskal dilaksanakan untuk mendorong pertumbuhan ekonomi, melindungi penduduk dari ketidakpastian dan pajak yang eksesif, serta untuk membantu para pembuat peraturan perundangan dalam mengatasi kesulitan ekonomi. Instrumen yang dapat digunakan pemerintah dalam penerapan kebijakan fiskal tersebut antara lain: pajak, subsidi, dan anggaran. Menurut Joseph L. Bast, Steve Stanek, dan Richard Vedder, Ph.D, ada sepuluh prinsip yang harus ditaati dalam penyusunan kebijakan fiskal, yaitu:
1.      Menjaga tarif pajak yang rendah
Sejarah membuktikan bahwa tarif pajak yang tinggi akan menghambat pertumbuhan ekonomi dan kesejahteraan. Suatu paradox yang terjadi di Indonesia adalah dari tahun ke tahun pajak semakin menjadi andalan pendapatan utama Negara dalam APBN. Namun hal itu dapat dimaklumi sepanjang peningkatan diperoleh dari bertambahnya jumlah Wajib Pajak yang mampu dan bukan dari peningkatan tarif pajaknya atau jumlah item barang yang kena pajak.
2.      Jangan memotong pendapatan atas investasi
Para investor datang untuk meningkatkan penghasilan atas investasi yang ditanamkannya, sehingga jika dipotong pajak akan menurunkan minat investasi dan menghambat pertumbuhan ekonomi. Hal ini telah dilakukan dengan tidak mengenakan pajak atas dividen dari pembagian laba perusahaan. Namun untuk laba perusahaan yang memperoleh dana investasi tersebut tidak perlu mendapatkan perlakuan khusus (lihat prinsip No. 6).

3.      Hindari dosa pajak
Penerapan pajak yang tidak fair dan bersifat regresif. Contohnya pengenaan PPN atas barang dan jasa yang cenderung berganda. Hal ini sering dimanfaatkan oleh perusahaan untuk mendapatkan restitusi pajak fiktif dan membebani masyarakat sebagai pembeli akhir. Keadilan pajak seharusnya dapat mencontoh pada mekanisme pemungutan zakat, misalnya zakat harta dikenakan sebesar 2,5% atas harta minimal (nisab) yang setara dengan suatu hitungan emas tertentu (96 gram emas) dalam satu tahun. Dimana jumlah prosentase zakat tetap, namun orang yang lebih kaya akan membayar lebih banyak sesuai jumlah harta yang dimiliki.
4.      Menciptakan mekanisme penyusunan anggaran yang transparan dan akuntabel
Hal ini dapat dilakukan dengan memusatkan perhatian dan sumber daya untuk menyediakan pelayanan yang menjadi fungsi utama (the core functions) pemerintah.
Suatu paradigma baru bahwa sejak penyusunan anggaran harus transparan dan menunjukkan tingkat kinerja yang hendak dicapai dari fungsi utama pelayanan publik, dimana hal ini harus didukung dengan mekanisme pelaporan dan evaluasi atas pencapaian kinerja yang terukur sesuai dengan perencanaannya.
5.      Melakukan privatisasi atas Pelayanan Publik
Tujuan privatisasi bukan sekadar untuk memperoleh tambahan pendapatan negara, namun merupakan suatu cara yang tepat untuk mengurangi belanja pemerintah sekaligus untuk meningkatkan mutu pelayanan publik tersebut. Dengan prinsip tersebut maka prioritas privatisasi adalah kepada perusahaan negara/daerah tidak efisien yang membebani keuangan negara (merugi), dan bukan kepada perusahaan yang menguntungkan.
6.      Hindari pembayaran subsidi kepada korporasi
Pemberian subsidi kepada korporasi atau pengurangan pajak secara selektif dapat menimbulkan pertanyaan secara politik dan membawa dampak buruk bagi perekonomian. Indonesia masih menerapkan susbsidi kepada korporasi misalnya subsidi BBM kepada Pertamina, subsidi pupuk kepada PT Pusri, dan subsidi listrik kepada PLN. Pemberian subsidi korporasi berdampak pada terciptanya disparitas harga, kesulitan mengukur kinerja korporasi yang disubsidi, rumitnya mekanisme pencatatan akuntansi pada sisi keuangan pemerintah dan sisi korporasi, serta kesulitan dalam pemeriksaan atas jumlah subsidi yang harus dibayarkan.
7.      Membatasi pajak dan belanja pemerintah
Pembatasan atas pajak dan pengeluaran pemerintah akan melindungi pemerintah dari tekanan publik untuk membelanjakan surplus pendapatan pajak pada saat kondisi ekonomi baik sebagai cadangan jika terjadi kesulitan ekonomi (krisis). Prinsip ini menghendaki pada saat surplus anggaran, pemerintah dapat melakukan penghematan dan menabung sebagai cadangan agar dapat digunakan pada saat terjadi kesulitan ekonomi.
8.      Membiayai siswa dan bukan memberikan dana kepada sekolah
Berdasarkan pengalaman pemberian dana langsung ke sekolah seperti block grant, dan BOS akan sulit diukur pencapaian tingkat kinerjanya, dibandingkan dengan cara sekolah menetapkan jumlah biaya pendidikan yang dibutuhkan oleh setiap siswa sesuai pencapaian akademis yang diinginkan dan pemerintah harus membiayai siswa yang tidak mampu. Misalnya dengan mekanisme pemberian beasiswa yang diberikan oleh institusi atau yayasan, seperti Supersemar, Ausaid, USaid dll.
9.      Reformasi mekanisme pemberian bantuan kesehatan
Pengeluaran untuk bantuan kesehatan biasanya menjadi tidak terkendali atau terjadi penurunan mutu pelayanan yang diterima pasien dengan bantuan kesehatan.
Hal ini seperti yang terjadi pada program jaminan kesehatan masyarakat miskin dengan PT Askes (Askeskin) yang membengkak karena kurangnya pengendalian atas tagihan vendor kepada PT Askes dan pelayanan yang diberikan Rumah Sakit kepada pasien Askeskin mutunya sangat buruk.
10.  Melindungi pegawai pemerintah (PNS) dari politik
Pemerintah harus mewaspadai penggunaan dana untuk keperluan politik dari pembayaran yang dilakukan oleh pegawai pemerintah. PNS dalam jumlah yang besar merupakan vote getter yang diperebutkan oleh partai dan kandidat, sehingga akan mempengaruhi independensi dan tidak menutup kemungkinan penggunaan fasilitas dan dana pemerintah untuk kepentingan kelompok tertentu, sehingga layak dipertimbangkan bahwa PNS juga tidak perlu menggunakan hak pilihnya dalam Pemilu seperti halnya anggota TNI dan POLRI. Selain itu berapa biaya Pemilu yang dapat dihemat dari berkurangnya mata pilih dari PNS tersebut.
B. Matriks Resiko Fiskal (The Fiscal Risk Matrix)
 Issu-issu kontinjensi fiskal merupakan bagian integral dari issu-issu resiko fiskal pemerintah secara menyeluruh, yaitu, sumber-sumber kewajiban pembiayaan yang akan menjadi beban berat dari otoritas fiskal suatu negara yang mungkin terjadi pada waktu yang akan datang. Brixi dan Mody (2002)4 mengidentifikasi empat sumber utama resiko fiskal, yaitu: (1) direct liabilities (kewajiban langsung); (2) contingent liabilities (kewajiban kontinjensi/laten); (3) explicit liabilities (kewajiban eksplisit); dan (4) implicit liabilites (kewajiban implisit). Kewajiban-kewajiban langsung (direct liabilites) adalah kewajiban-kewajiban yang dapat diprediksikan (predictable) yang dapat terjadi dalam setiap kejadian. Kewajiban laten (contingent liabilites) adalah kewajiban-kewajiban yang akan menjadi beban nyata fiskal dengan adanya suatu kejadian tertentu. Sebagai bahan untuk kebijakan pemerintah, probabilita terjadi dan besarnya uang untuk menutupi kewajiban laten tersebut adalah exogenous (sebagai contoh, adalah jika terjadi bencana alam) atau endogenous (sebagai contoh, implikasi-implikasi dari kelembagaan pasar atau bersumber dari rancangan program pemerintah yang menciptakan moral hazards (sulit membedakan antara yg berhak dan tidak berhak) di pasar). Beban laten fiskal dapat juga meningkat dengan adanya kelemahan dari kerangka makroekonomi, sektor keuangan, dan sistem-sistem regulasi dan pengawasan, dan lemahnya keterbukaan informasi pasar. Beban-beban laten fiskal tersebut dapat juga bersumber dari kegiatan-kegiatan kuasi fiskal–yaitu, kegiatan-kegiatan yang bersifat fiskal tetapi dilaksanakan diluar anggaran pemerintah. Kewajiban-kewajiban eksplisit adalah kewajiban-kewajiban pemerintah yang secara spesifik ditetapkan oleh undang-undang atau kontrak. Pemerintah diwajibkan secara hukum untuk menyelesaikan hal tersebut dalam waktunya. Kewajiban-kewajiban implisit merupakan kewajiban moral atau kewajiban yang sudah sewajarnya menjadi beban pemerintah (expected burden) tetapi bukan dalam nuansa hukum, yang dikehendaki oleh masyarakat atau oleh karena adanya tekanan politis (political pressures).
Kewajiban ekplisit langsung pemerintah adalah kewajiban-kewajiban menurut hukum atau kontrak pemerintah. Kewajiban-kewajiban ini merupakan subjek utama dalam analisis fiskal konvensional. Hal tersebut adalah: pembayaran utang pemerintah, pengeluaran-pengeluaran yang diatur dalam uu APBN dalam tahun anggaran yang sedang berjalan, pengeluaran-pengeluaran dalam jangka panjang untuk pos-pos anggaran yang diwajibkan oleh uu seperti gaji PNS dan pensiunan dan, di beberapa negara bahkan dana sistem jaminan sosial secara keseluruhan. Diantara pos-pos ini, literatur terkini sudah memfokuskan pada resiko-resiko dalam ukuran dan struktur dari portofolio utang pemerintah (lihat Nars 1997, Bank Dunia dan IMF 2000, dan Dooley 2000 untuk overview).
Kewajiban implisit langsung pemerintah akan juga muncul dalam beberapa kegiatan, tetapi pemerintah tidak diwajibkan secara hukum untuk melakukan tindakan. Kewajiban-kewajiban yang demikian sering muncul sebagai konsekuensi dari kebijakan pengeluaran pemerintah dalam jangka panjang. Mengingat sifatnya yang implisit, kewajiban-kewajiban ini tidak dicantumkan dalam neraca-neraca pemerintah (government balance sheets). Utamanya, kewajiban-kewajiban seperti ini cenderung tinggi untuk bentuk-bentuk pengeluaran yang terkait dengan demografis. Sebagai contoh, pembayaran pensiun PNS untuk masa yang akan datang dalam sistem pay-as-you-go, jika tidak dijamin oleh uu, adalah merupakan suatu kewajiban implisit langsung. Ukurannya mencerminkan ekspekstasi kedermawaan dan yang berhak untuk mendapatkan pensiun dan demografi serta pembangunan ekonomi di masa mendatang. Diantara kewajiban langsung implisit, literatur terkini sudah secara khusus membahas kewajiban-kewajiban pensiun pemerintah (World Bank 1994; IMF 1996; OECD 2000; Bodie dan Davis 2000).
Kewajiban eksplisit laten (contingent explicit liabilites) adalah kewajiban-kewajiban pemerintah yang jelas-jelas diatur dalam peraturan perundang-undang yang berlaku, untuk melakukan pembayaran jika suatu kejadian tertentu terjadi. Mengingat beban fiskal dari kewajiban fiskal eksplisit laten adalah tidak terlihat sampai dengan waktu terjadinya, hal ini merupakan subsidi yang tersembunyi, mengaburkan analisis fiskal, dan menyedot keuangan pemerintah hanya pada waktu yang akan datang dan tidak dapat ditentukan kapan. Untuk alasan itu, jaminan-jaminan pemerintah daerah dan pembiayaan melalui lembaga-lembaga yang dijamin oleh pemerintah daerah kelihataanya secara politis lebih menarik dari bantuan anggaran walaupun hal ini di kemuadian hari dapat saja menjadi lebih mahal. Di pasar, kewajiban-kewajiban laten pemerintah dapat dengan segera menciptakan moral hazards, khususnya jika jaminan pemerintah mencakup seluruh dan bukan sebagian dari assets yang terkait (underlying assets) dan seluruh serta bukan sebagian dari resiko bisnis dan komersiel. Skim asuransi pemerintah daerah sering mengkaper resiko-resiko yang tidak lazim diasuransikan, yang sangat besar dalam jumlah keseluruhannya. Oleh karena itu, dari pada membiayainya sendiri dari fees, mereke meredistribusikan kekayaan, dan mengandalkan pembiayaan pemerintah netto. Sejauh ini, penelitian sudah memfokuskan pada issu-issu pengukuran dan manajemen jaminan-jaminan untuk pinjaman (Mody dan Patro 1996; Lewis dan Mody 1997), jaminan-jaminan investasi sektor infrastruktur (Chase Manhattan Bank 1996; Irwin dan lain-lain 1998), lembaga-lembaga keuangan dan pembangunan pemerintah daerah (Yaron 1992), jaminan-jaminan pensiun (Pennacchi 2002), asuransi simpanan bank (Leaven 2000; World Bank 2001a), asuransi palawija (crop insurance) (Hueth dan Furtan 1994), dan skim-skim asuransi pemerintah daerah (U.S. GAO 1998; dan Feldman 2002).
Kewajiban-kewajiban laten implisit (contingent implicit liabilities) tergantung pada ada tidaknya suatu kejadian tertentu di waktu mendatang dan kesediaan pemerintah untuk bertindak atau melibatkan diri. Kewajiban-kewajiban yang demikian biasanya tidak begitu diperhatikan sampai adanya kejadian. Hal-hal yang menjadi pemicu, resiko biaya, dan jumlah dana pemerintah yang dibutuhkan adalah tidak pasti. Di banyak negara, sistem keuangan merupakan sumber kewajiban laten implisit pemerintah yang paling parah. Pengalaman-pengalaman sudah menunjukan bahwa pasar mengharapkan pemerintah memberikan bantuan keuangan melebihi kewajiban hukum jika sistem keuangan berada di ujung tombak (lihat misalnya, Claessens dan Klingebiel 2002; dan Bank Dunia 2001a). Otoritas fiskal sering juga didesak untuk menutupi kerugian-kerugian dan kewajiban-kewajiban bank sentral, pemerintah daerah, BUMN dan perusahaan-perusahaan swasta yang besar, lembaga-lembaga pemerintah baik yang didalam maupun yang diluar (off budget) operasi fiskal normal, dan lembaga-lembaga lain yang memiliki peran politis yang penting.

Tabel 1 berikut ini secara sistematis menyajikan resiko fiskal pemerintah. Tabel ini penulis terjemahkan dari Tabel 1.1. Brixi dan Mody (2002).
Table 1.1. Matriks Resiko Fiskal Pemerintah
Sumber-Sumber
Kewajiban
Kewajiban Langsung
(kewajiban pada setiap komitmen)
Kewajiban-Kewajiban Laten (kewajiban jika peristiwa tertentu terjadi)
Implisit
Kewajiban Eksplisit Pemerintah (sebagaimana tercantum dalam UU atau kontrak)

• Utang negara (surat utang dan sekuritas yang diterbitkan oleh pemerintah pusat)
• Komposisi pengeluaran (pengeluaran wajib)
• Pengeluaran yang wajib dikeluarkan dalam jangka panjang (gaji dan pensiunan)


• Jaminan yang  diterbitkan oleh pemerintah daerah dan kewajiban-kewajiban lain pemerintah daerah dan lembaga pemerintah daerah dan sektor swasta ( bank pembangunan daerah)
• Payung jaminan pemerintah untuk berbagai jenis pinjaman ( kredit KPR, pinjaman pendidikan, KUT, kredit UKM)
• Jaminan perdagangan dan kurs yang diterbitkan oleh pemerintah
• Jaminan pemerintah untuk investasi swasta

Skim-skim asuransi pemerintah daerah (asuransi simpanan bank, pendapatan dari dana pensiun swasta, asuransi tanaman pangan, asuransi kebanjiran, asuransi resiko perang)
Implisit
Kewajiban moral implisit pemerintah pencerminan kelompok kepentingan dan kelompok penekan

• Pensiun masyarakat umum untuk masa mendatang ( lawan dari pensiun PNS) *
• Skim-skim jaminan sosial *
• Pembiayaan layanan kesehatan yang akan datang
• Biaya rutin yang akan dikeluarkan nanti untuk proyek investasi pemerintah sekarang


• Gagal bayar pemerintah daerah atau lembaga pemerintah atau swasta atas utang/kewajiban yang tidak ada koleteral
• Kegagalan perbankan (talangan diluar asuransi pemerintah, jika ada)
• Tunggakan kewajiban dari lembaga yang sedang diprivatisasi
• Kegagalan dana pensiun tanpa jaminan, tssbungsn buruh, jaminan social security
• (perlindungan untuk investor kecil)
Kemungkinan modal sendiri negatif dan atau gagal bayar bank sentral (kontrak valuta asing, perlindungan mata uang domestik, neraca pembayaran)
• Kebutuhan dana talangan lain (misalnya, sehubungan adanya arus balik dari aliran modal)
• Pemulihan lingkungan, bantuan bencana alam, pembiayan militer
Keterangan: Tanda (*) menyatakan bahwa dalam kerangka ini, pelayanan seperti ini masuk dalam kategori kewajiban implisit langsung pemerintah jika penyediaannya tidak diwajibkan oleh Undang-Undang. Jika diwajibkan oleh Undang-Undang, maka pelayanan seperti ini masuk dalam kategori kewajiban eksplisit langsung pemerintah.
Sumber: dialih bahasakan dari Polackova (1998) dalam Tabel 1.1 Brixi dan Mody (2002).

C. Kerangka Umum Pengurangan Celah Resiko Pemerintah
Brixi dan Mody (2002) mengemukakan tiga kerangka umum untuk pengurangan celah resiko (risk exposure) pemerintah, yaitu: (1) melakukan upaya sistematis (systematic measures); (2) pengendalian menurut program; dan (3) solusi sektor swasta.
Table 1.2. Pengurangan Celah Resiko Pemerintah
Sumber Resiko
Disain Pengurangan Resiko
Pengurangan Celah untuk Resiko yang Ditanggung
Jaminan-Jaminan








Tutup hanya resiko-resiko tertentu seperti resiko politik/kebijakan
Atur resiko dalam kewajiban langsung dan portofolio aktiva (misalnya, kurangi celah atas valuta yang relevan jika resiko kurs dijamin pemerintah).
Bangun dana cadangan untuk seluruh jaminan-jaminan.
Batasi total benefits yang dibayar s/d jumlah dana cadangan.
Yakinkan kecukupan cadangan mentransformasikan dana cadangan ke perusahaan. Publik yang sahamnya diperdagangkan dengan bebas.
Asuransi Bencana
Buat batas maksimum santunan. Asuransikan resiko tengah dan bukan resiko pertama.
Terbitkan obligasi bencana (mungkin dalam paket bencana yang lebih mungkin terjadi).
Beli reasuransi untuk resiko diluar dari yang layak untuk ditanggung oleh fiskal.
Asuransi Simpanan
Wajibkan keterbukaan informasi, terapkan regulasi dan supervisi yang ketat, sebelum pelaksanaan program asuransi simpanan.
Batasi Maksimum Santunan.
Asuransikan resiko tengah dan bukan resiko pertama.
Buat dana cadangan terpisah.
Batasi total benefits yang dibayar s/d jumlah dana cadangan.
Yakinkan kecukupan cadangan dengan cara mentransformasikan dana cadangan ke perusahaan. Publik yang sahamnya diperdagangkan dengan bebas

Dukungan Harga
Manfaatkan sisi positif mekanisme lelang
Tutup hanya resiko-resiko ter-tentu seperti resiko politik/kebijakan.
Beli payoff-replicating derivativies.
Beli reasuransi.
Jaminan-Jaminan Implisit ke Bank dan Perusahaan.
Buat pengumuman dan laku-kan upaya untuk memini-mumkan moral hazard.
Upayakan lini kredit kontinjensi dari IMF
Privatisasi dan Penjualan Asset
Cari investor stratejik (pendapatan yang akan datang)
Maksimumkan pendapatan privatisasi
Gunakan penerimaan untuk mengurangi kewajiban pemerintah atau kewajiban yang akan datang.
Pembelian asset bermasalah
Bayar sesuai dengan estimasi harga pasar (sebagian dari tujuan rekapitalisasi)
Perkenankan mekanisme pasar mengatasi asset bermasalah (kuatkan posisi kreditur, proses kebangkrutan, dan lain sebagainya).
Buat pengumuman dan upayakan untuk meminimumkan ekspektasi kemungkinan perulangan pembelian asset pada waktu mendatang.
Jual asset bermasalah secepat mungkin
Pajak komoditi
Berlakukan basis pembayaran yang independen terhadap harga komoditi..
Terbitkan obligasi yang terkait komoditi.
Beli derivatives yang terkait dengan komoditi..
Beli asuransi.
Pembayaran kembali pinjaman langsung
Syaratkan koleteral.
Beli asuransi gagal bayar (ngemplang).
Sumber: Dialibahasakan dari Tabel Brixi dan Mody (2002).
D. Kasus Indonesia
Brixi dan Gooptu (2002) mengidentifikasi ada sepuluh jenis kewajiban kontinjensi fiskal Indonesia, hingga akhir tahun 2000. Dari sepuluh jenis tersebut, empat merupakan kewajiban kontinjensi eksplisit (kewajiban pemerintah yang tercantum dalam UU atau kontrak), dan enam implisit (kewajiban moral pemerintah yang merefleksikan tekanan kelompok dan publik).
Kewajiban-kewajiban eksplisit adalah: (1) blanket guarantee atas simpanan bank (biayanya 600 trilliun rupiah dalam tahun 1997-99); (2) jaminan atas interbank claims; (3) payung jamina n atas pinjaman non-utang negara oleh UKM, petani, Bulog, dan lembaga lain; dan (4) jaminan perdagangan dan selisih kurs via bank ekspor, BPPN, dan lembaga-lembaga lain. Sedangkan kewajiban-kewajiban kontinjensi implisit adalah: (1) kerugian yang terkait dengan take-or-pay kontrak dari perusahaan public utilities; (2) dukungan pada perusahaan-perusahaan (pemerintah mungkin menutupi kerugian dan memikul kewajiban non-jaminan dari badan usaha milik pemerintah dan swasta); (3) subsidi yang terkait dengan harga beras dan BBM via BULOG dan Pertamina; (4) adanya kemungkinan untuk bank rekapitalisasi lanjutan yang gagal mencapai CAR 8% pada akhir tahun 2001; (5) adanya kemungkinan untuk rekapitalisasi lanjutan BI; dan (6) adanya kemungkinan pengalihan kewajiban pemerintah daerah ke pusat.
Hasil kajian menunjukan hasil yang berbaur (mixed results); positif dan negatif. Positif artinya terdapat beberapa kebijakan fiskal yang memberikan indikasi yang kuat bahwa pemerintah berupaya untuk mengurangi kewajiban-kewajiban fiskal kontinjensi dan atau untuk mengurangi celah-celah resiko fiskal pemerintah. Negatif artinya terdapat beberapa kebijakan fiskal pemerintah yang bahkan memperbesar kewajiban fiskal kontinjensi dan atau memperbesar celah-celah resiko fiskal pemerintah. Hasil positif dan negatif tersebut akan dipaparkan secara berurutan.
1.      Hasil Positif
a.      Upaya penurunan stok utang pemerintah
Perhatian pada stok utang ini sangat penting sebab beban bunga, pembayaran cicilan, dan porsi yang jatuh tempo, sangat mempengaruhi kemampuan pemerintah untuk menyediakan anggaran pembangunan, pengurangan kemiskinan, dan pemeliharaan jalannya roda pemerintahan. Selain itu, stok utang yang tinggi juga akan mempengaruhi keyakinan pemodal asing dan suku bunga domestik. Dalam kaitan ini, Bank Dunia (2003)  menyatakan:
Tetapi hutang pemerintah Indonesia masih memberikan tekanan yang berat terhadap sistem fiskal. Pembayaran atas kewajiban-kewajiban hutang yang jatuh tempo dewasa ini merongrong kemampuan pemerintah untuk mempertahankan pengeluaran penting untuk pembangunan dan program-program yang terkait dengan kemiskinan. Lebih jauh lagi, kekhawatiran terhadap sustainabilitas hutang pemerintah berdampak atas keyakinan pemodal, yang memengaruhi suku bunga domestik dan kemampuan Indonesia untuk menarik modal asing. Tingginya hutang pemerintah juga meningkatkan kerawanan, sangat membatasi kemampuan pemerintah untuk mengendalikan goncangan-goncangan baru, dan hanya menyisahkan sedikit ruang gerak untuk mengelola ekonomi.”
Fakta menunjukan bahwa pengurangan stok utang telah menjadi pusat perhatian pemerintah Indonesia. Komitmen pemerintah tersebut tertuang dalam Program Pembangunan Lima Tahun (Propenas) tahun 2000 dan Rencana Pembangunan Tahunan (Rapeta), mulai tahun 2001 s/d sekarang. Baik Propenas maupun Rapeta secara tegas menargetkan penurunan stok utang menjadi dibawah 60% PDB. Komitmen ini kelihatannya telah dilaksanakan dengan konsisten; stok utang pada akhir tahun 2001 adalah 87% PDB, 2002 76% PDB, 2003 67% PDB, 2004 60,1%PDB, 2005 (proyeksi) 54,9% PDB.
b.      Reformasi Penganggaran APBN
Reformasi penganggaran APBN sudah berlangsung sejak tahun 2001 dengan dirubahnya format APBN dari T-Account menjadi I-Account yang antara lain secara eksplisit memperlihatkan kondisi surplus/defisit. Ulfa dan Anggito (2003) mengatakan “….Walaupun demikian, sebagian dari prinsip-prinsip dari kedua kaidah14 tersebut sudah dapat diterapkan secara bertahap. Misalnya, memindah bukukan komponen rutin dari anggaran pembangunan ke pos anggaran rutin.”
Dalam tahun 2004 dewasa ini, Departemen Keuangan, Bappenas, dan Sekretariat DPR RI sedang mempersiapkan program reformasi pengangarann yang lebih komprehensif. Program ini dinamakan GFMRAP (Government Finance Management Reform and Accounting Procedure) dan mendapat bantuan pinjaman program dari Bank Dunia, yang akan segera dimulai dalam semester kedua tahun ini juga.
Tujuan umum dari GFMRAP adalah untuk membuat penganggaran yang lebih baik, mencakup: (i) keterkaitan antara kebijakan, perencanaan, penganggaran dan pelaksanaannya; (ii) penggunaan klasifikasi menurut GFS manual; (iii) penganggaran yang berhorizon lebih dari satu tahun (MTEF); dan (iv) penganggaran yang berdasarkan kinerja (Performance Based Budgeting). Sedangkan reformasi anggaran tersebut terdiri dari empat komponen, yaitu: (1) unified budget; (2) budget classification (klasifikasi anggaran) menurut GFS (government Finance Statistic), mapping program yang hendak dilaksanakan dalam klasifikasi fungsi dan klasifikasi ekonomi sesuai UU No. 17 tahun 2003; (3) MTEF meminta Departemen/Lembaga mencatat kebutuhan dana pada TA. 2006 untuk program yang telah ditetapkan pada TA 2005; dan (4) penganggaran berbasis kinerja, meminta Departemen/Lembaga mencatat keluaran (output) yang hendak dicapai pada TA 2005. Rencana tindak (plan action) dari program GFMRAP ini dikelompokan dalam empat klasifikasi, yaitu: (1) planning and budgeting process (termasuk unified budget); (2) budget classification (GFS); (3) MTEF dan Forward Estimate; dan (4) performance based budgeting (PBB).



2.      Hasil Negatif
Sebetulnya ada beberapa hasil negatif yang dapat penulis kumpulkan sejauh ini. Walaupun demikian, dalam makalah kecil ini penulis hanya akan memaparkan dua saja, yaitu: (1) issu perberasan nasional; dan (2) issu lembaga penjaminan simpanan (LPS) sebagai ganti dari the blanket guarantee system.
a.      Issu perberasan nasional
Issu perberasan nasional masuk dalam wilayah issu-issu kontinjensi fiskal Indonesia melalui transmisi pembelian gabah petani, pembelian dan penyaluran beras untuk masyarakat miskin (Raskin), operasi stabilisasi harga, dan termasuk pengadaan dan pemeliharaan stok beras Bulog. Kontinjensi fiskal ini bersifat eksplisit dan implisit. Eksplisit jika dana untuk kegiatan-kegiatan perberasan nasional tersebut sudah dimasukan dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) dan realisasinya cenderung menjadi rutin. Implisit jika pos-pos pengeluaran itu merupakan cadangan untuk mendanai kegiatan perberasan nasional. Atau, kebutuhan dana untuk kegiatan perberasan nasional itu menjadi melonjak tajam dan dapat saja melebihi pagu yang sudah ditetapkan oleh APBN. Dalam hal ini, Pemerintah terpaksa mengalokasikan dana oleh karena kewajiban moral dan atau karena adanya tekanan politis dan kelompok kepentingan yang kuat. Pertanyaannya sekarang adalah apakah ada indikasi yang kuat bahwa Pemerintah sudah dan atau akan menangani kontinjensi fiskal perberasan nasional ini dengan baik?
Pertanyaan tersebut dapat dijawab melalui tiga pendekatan: (1) efektivitas kebijakan stabilisasi harga; (2) efektivitas dan efisiensi kebijakan pembelian gabah/beras Bulog; dan (3) efektivitas dan efisiensi pengelolaan stok beras nasional.
Kebijakan stabilisasi harga terkait erat dengan beban kontinjensi fiskal Indonesia. Harga beras yang tinggi dan fluktuatif akan memaksa Pemerintah untuk melakukan intervensi baik melalui operasi pasar murni (OPM) maupun melalui operasi pasar khusus (OPK). Beban fiskal akan semakin tinggi jika Pemerintah harus mengimpor beras dengan volume yang besar dan dalam waktu yang singkat. Hal yang sama juga terjadi dalam kondisi harga beras yang terlalu rendah. Pemerintah perlu melakukan intervensi pembelian gabah petani untuk mengangkat harga ke tingkat Harga Pembelian Pemerintah (HPP). Pembelian gabah petani dalam volume yang besar dan waktu yang singkat juga akan memberikan tekanan fiskal yang tinggi. Selanjutnya, pengelolaan stok beras nasional dapat meringankan dan dapat juga memberatkan beban fiskal Pemerintah. Jika stok beras nasional dapat dikelola dengan baik, maka beban fiskal Pemerintah akan berkurang, dan sebaliknya beban fiskal Pemerintah akan semakin berat. Ketiga pendekatan ini akan penulis diskusikan secara kritis berikut ini.
Langkah strategis untuk menganalisis efektivitas dan efisiensi kebijakan stabilisasi harga beras dan harga gabah petani adalah dengan merujuk ke perubahan peran Bulog dalam dua periode: (1) 1977 s/d 1997 dan (2) Januari 1999 s/d Desember 2002. Dalam periode pertama, Bulog diberikan hak monopoli untuk mengimpor beras dan dalam priode kedua hak tersebut sudah dicabut, sehingga para importir bebas melakukan impor beras. Metodologi untuk mengukur stabilisasi suatu serie yang umum digunakan adalah koefisien variasi (KV). Angka koefisien variasi  yang tinggi menunjukan stabilitas harga yang rendah atau dalam kasus ini menunjukan flukatuasi tingkat harga beras yang lebih tinggi. Sebaliknya, angka koefisien variasi yang rendah terkait dengan stabilitas harga yang lebih tinggi atau, dengan kata lain, fluktuasi harga beras relatif lebih rendah.
Bappenas, et.al (2003) melakukan uji stabilitas harga beras dan gabah kering giling (GKG) untuk kedua periode tersebut diatas dengan menggunakan metode koefisien variasi. Hasil pengujiannya menunjukan bahwa koefisien variasi baik untuk harga beras maupun harga GKG adalah lebih rendah dalam periode Januari 1999 s/d Desember 2002, periode impor beras dibebaskan, dibandingkan dengan yang ada dalam periode 1977 s/d 1997, periode impor beras dimonopoli oleh Bulog. Rata-rata 48 bulan KV untuk harga beras dalam periode monopoli Bulog adalah 12% dan KV-nya sewaktu impor beras dibebaskan hanyalah sebesar 9,7%. Sedangkan rata-rata 48 bulan KV harga GKG dalam periode monopoli Bulog adalah 14,3% dan KV-nya sewaktu impor beras dibebaskan adalah 10,3%.
b.      Issu Lembaga Penjamin Simpanan (LPS)
Kebijakan awal program penyehatan perbankan di Indonesia yang dituangkan dalam Letter of Intent (LOI) dengan IMF bulan Oktober 1997 berisikan empat unsur utama. Pertama, pencabutan izin dan penutupan 16 bank kecil yang sudah sangat tidak sehat. Pemilik bank kehilangan seluruh modal mereka dan simpanan bank sampai dengan 20 juta rupiah (sekitar USD5.600 pada waktu itu) dijamin pengembaliannnya oleh Pemerintah. Dikemudian hari, pada waktu sistem perbankan nasional sudah pulih kembali, skim asuransi simpanan akan diterbitkan. Skim ini akan dirancang untuk meminimalkan moral hazard dan melindungsi deposan s/d jumlah tertentu (deposan kecil). Kedua, menerbitkan kebijakan-kebijakan dan prosedur-prosedur yang tepat guna untuk memungkinkan otoritas pengawas perbankan untuk bertindak dengan cepat menangani bank-bank yang lemah tetapi masih sehat dengan memasukan mereka ini dalam program penyehatan perbankan. Jika bank-bank dalam program penyehatan ini tidak segera pulih kembali mereka akan ditutup. Sekitar 10 bank menyetujui untuk ikut dalam program ini dan mereka akan ditutup pada akhir tahun 1998 jika gagal mendapatkan tambahan modal baru. Dalam waktu yang bersamaan, Bank Indonesia mengucurkan kredit likuiditas kepada bank-bank tersebut, yang tujuan utamanya adalah untuk menjaga agar bank-bank tersebut dapat beroperasi secara normal. Ketiga, bank-bank BUMN diarahkan untuk melakukan merger dan menerapkan berbagai instrumen strategis untuk memaksimumkan penagihan piutang, meningkatkan corporate governance, menoreh manfaat yang setinggi-tingginya dari program privatisasi dan peningkatan partisipasi swasta dalam governance (manajemen dan komisaris). Fakta dan data dikemudian hari menunjukan bahwa pemerintah terpaksa menginjeksi modal kepada bank-bank BUMN dalam jumlah yang sangat besar, dan tidak ada privatisasi bank BUMN sejauh ini. Akhirnya, didalam LOI dikatakan bahwa pemerintah akan memperbaiki kerangka kelembagaan, legal, dan regulasi perbankan. Sebagai contoh, UU dan peraturan yang berlaku tentang bank sentral dan operasi bank-bank umum (komersiel) akan direvisi yang mencakup unsur-unsur international best practices, dan regulasi yang terkait dengan kepemilikan asing atas lembaga keuangan di Indonesia akan dimodifikasi untuk memfasilitasi masuknya bank dan pemodal internasional.
Upaya reformasi infrastruktur pengawasan sistem perbankan nasional bertujuan bagaimana agar resiko bisnis suatu bank harus ditanggung sendiri oleh para pemilik dan kreditur bank itu sendiri (pemilik simpanan bank disana). Dengan kata lain, resiko kegagalan suatu bank harus dicegah untuk dialihkan ke APBN yang nota bene adalah pengalihan beban ke rakyat banyak lebih-lebih kepada mereka yang sangat miskin dan belum pernah menginjakkan kakinya di bank yang manapun. Di sisi lain, a systemic bank run on (lumpuhnya sistem pembayaran), yang mengandung eksternalitas negatif yang besar, perlu untuk dicegah. Bagaimana caranya?
Pola yang diterapkan oleh Argentina adalah membekukan untuk sementara seluruh simpanan pada bank bermasalah itu tetapi hal ini menyebabkan penutupan sistem pembayaran dan dampak negatifnya adalah demikian besar. Pola penjaminan semua simpanan bank (the blanket guarantee) yang berlaku di Indonesia dewasa ini walaupun berhasil mengatasi kelumpuhan sistem pembayaran tetapi biayanya sangat-sangat tinggi dan terlebih lagi jauh dari rasa keadilan.
Kebijakan alternatif yang sedang dibahas saat ini mencakup pendirian Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) yang mirip-mirip the FDIC Amerika Serikat. Sama halnya seperti the FDIC, hanya deposan kecil saja yang akan di jamin oleh LPS. Settingnya juga kurang lebih sama ketika terjadi penutupan 16 bank pada awal krisis tahun 1997. Segera, jika ada indikasi suatu bank tidak solvent lagi, rush akan terjadi utamanya bersumber dari penarikan dana oleh deposan besar dan untuk mengatasi hal ini LPS, yang juga lembaga pemerintah, terpaksa mengambil langkah pemberian Blanket Guarantee kembali. Beban sektor swasta kembali dipikul oleh sektor publik; masyarakat banyak. Skenario seperti itu pernah terjadi, antara lain, di Amerika Serikat dalam tahun 1984 ketika terjadi krisis pada bank The Continenatal Illinois. The FDIC yang semulanya hanya menjamin para deposan kecil, s/d US$100,000.00, terpaksa harus menjamin seluruh simpanan bank nasabah The Continetal. “On May 17, the FDIC announced that it would guarantee all of Conteinental Illinois’s deposits—not just those for $100,000 and less.” (Mishkin, 1989, ebit).
Alternatif untuk mencapai tujuan ganda: kegagalan sektor swasta tidak dialihkan ke sektor publik dan sistem pembayaran masih tetap berjalan dengan baik diajukan oleh McLeod (2004). Menurut pendapat pakar ini, hal yang perlu dipertimbangkan untuk mengatasi kemungkinan berulangnya krisis perbankan di Indonesia adalah dengan mengadopsi sistem kebrangkutan sektor swasta non-keuangan di Amerika Serikat tetapi dengan modifikasi kecil untuk penerapan pada sektor keuangan (perbankan). Ringkasan tahap-tahap yang perlu dilakukan adalah sebagai berikut. Jika suatu bank memperlihatkan gejala-gejala yang bermasalah, yang antara lain diindikasikan oleh: (a) merosot tajamnya saldo kliring di Bank Indonesia; dan (b) melonjaknya kenaikan suku bunga interbank untuk bank tersebut, maka regulator dan atau lembaga pengawas perlu dan wajib untuk melakukan: (a) Freezing on new lending and asset acquisitions, and funds withdrawals; (b) Melakukan investigasi dengan cepat, yang hasil investigasi tersebut mencakup: (i)Jika ternyata bank tersebut memang tidak solvent lagi, freezing diperpanjang; (ii) Debt-equity swaps; beban krisis ditanggung oleh pemilik dan deposan dan bukan oleh APBN; (iii) Pembatasan kewenangan top manajemen lama; (iv) Tanggung renteng pemilik lama; (v) Sistem pembayaran masih tetap berjalan dan pemilik simpanan kecil diperkenankan untuk menarik simpanan mereka; (c) Hal-hal yang perlu diwaspadai dari Badan Pengawas: (i) Mengucurkan kredit berisiko tinggi tanpa adanya koleteral yang memadai (ii) Menyembunyikan dan atau memusnahkan dokumen kredit yang sudah dikucurkan; (iii) Mengizinkan deposan menarik simpanan bank mereka; dan (d) Untuk mengatasi hal tersebut diperlukan beberapa tindakan sebagai berikut: (i) Top manajemen Badan Pengawas hanya dan hanya dapat diisi oleh orang-orang yang mempunyai reputasi yang tinggi; dan perlu mengikutsertakan pakar-pakar dan atau praktisi internasional untuk duduk dalam Badan Pengawas.
E. Program fiskal pengimbang yang dikendalikan
Pada umumnya ada 3 corak program fiscal yang dapat dipakai dalam suatu ekonomi yang mengalami kegoncangan konjungtur dalam pendapatan dan lapangan kerja.
Anggaran Belanja yang Seimbang:
1.      program anggaran belanja yang seimbang
2.      rencana ( committee for Economic Development ) C.E.D tenang suatu system yang otomatis fleksibel
3.      program pengimbangan yang dikendalikan
Program anggaran belanja yang seimbang dapat dijalankan dengan dasar pembelanjaan pemerintah yang tetap selama konjungtur, atau dengan dasar menambah pembelanjaan selama tahun yang tidak diperkirakan oleh C.E.D jikalau penerimaan pajak menaik dengan pengeluaran-pengeluaran yang dikurangi depresi jikalau penerimaan pajak menurun.
Bila pengeluaran telah ditetapkan dan tidak berubah selama konjungtur, tingkat pajak akan diturunkan dan dinaikkan dalam masa depresi sehingga dengan, penerimaan akan cukup mengimbangi anggaran belanja yang sudah tetap itu, dalam praktek yang sebenarnya, tujuan yang dicapai dengan apa yang disebut pebiayaan sehat, didalam kenyataannya tidak pernah sepenuhnya terwujud. Dalam masa depresi yang hebat, tidak mungkin mengimbangi anggaran belanja.
a.      Program C.E.D:
Program C.E.D adalah program mengenai anggaran belanja yang disiapkan oleh komite untuk pembangunan ekonomi (C.E.D). Program ini disebut sebagai suatu kebijaksanaan menstabilkan anggaran belanja.
Hal ini memerlukan pengeluaran pemerintah yang tetap selama konjungtur, yang ditentukan atas dasar kebutuhan-kebutuhan social, sesuai dengan nilai yang diletakkan oleh suatu masyaraat demokratis pada dinas pemerintah. Namun hal ini membutuhkan tingkat pajak yang tetap, disesuaikan untukmengimbangi anggaran belanja, misalnya bila 93% dari tnaga buruh dipekerjakan. Menurut anggapan orang, jika 96% dari tenaga buruh telah dipekerjakan, hal itu merupakan keadaan full employment. Pada keadaan full employment, struktur tingkat pajak yang tetap, seharusnya menghasilkan surplus dalam anggarap belanja. Pada saat tingkat lapangan kerja dibawah 93%, akan terjadi deficit karena penerimaan pajak akan jatuh kalau pendapatan menurun.
Laporan C.E.D itu menggambarkan suatu kemajuan penting dalam pemikiran fiscal, dibandingkan dari apa yang disebut pembiayaan yang sehat. Pengeluaran yang menimbulkan pendapatan memang diusahakan supaya konstan, akan tetapi lebih banyak uang pajak akan diambil dari umum daripada dibelanjakan oleh pemerintah. Dalam tahun depresi pembelanjaan pemerintah akan melebihi pajak yang diambil dari umum, dan dengan itu akan ikut member sumbangan kepada jumlah pengeluaran, baik pengeluaran pemerintah maupun pengeluaran partikelir.
b.      Kritik dan Anjuran C.E.D:
Program C.E.D sangat baik selama dapat dilaksanakan akan tetapi gagal karena tidak memadai. Laporan itu menunjukan mengenai cara, dengan ekonomi modern yang rumit bekerja, program C.E.D adalah program menstabilkan anggaran belanja, yang merupakan anggaran belanja yang distabilkan daripada anggaran belanja yang seimbang, akan tetapi seluruh isi laporan itu mengemukakan lebih banyak fakta yang sesungguhnya dengan rencana C.E.D itu adalah bahwa bukan saja akan beroleh pengangguran ang lebih lama berlangsung, melainkan juga kemunduran dalam pendapatan dan lapangan kerja yang drastis dan lebih tepat.
Program C.E.D tentang budget dan pajak itu menyatakan bahwa kalau ada full employment, anggaran belanja akan sedikit tidak seimbang, program tersebut tidak member jaminan, bahwa system itu akan mencapai full employment, atau dalam keadaan khusus mungkin tidak ada keadaan yang melebihi full employment.
Program C.E.D itu nampaknya cukup memadai kalau ekonomi yang modern cenderung selalu menuju kearah full employment, dengan kegoncangan yang tak seberapa. Anjuran dari laporan ini dikemukakan dengan kepercayaan, bahwa jika digabungkan dengan tindakan layak dibidang lain. Fluktuasi ekonomi akan dapat dibatasi sampai ke tingkat yang sedang dari tingkat yang tinggi. Meskipun demikian tidak pula meniadakan kemungkinan, bahwa barangkali akan menghadapi lagi suatu krisis ekonomi yang besar seperti depresi yang hebat atau inflasi yang lebih besar. Pengurangan atau penambahan dalam tingkat pajak dalam keadaan darurat akan menjadi suatu alat yang paling efektif dan paling tidak berbahaya dari lpangan yang tersedia. Terdapat anggapan bahwa keadaan darurat itu jarang terjadi dan merupakan kekecualian saja.
c.       Program Pengimbang yang Dikendalikan:
Suatu program pengimbang yang memadai, program yag dengan cepat dapat digerakkan, sangat flksibel dan dapat dipakai sebagai alat untuk melakukan penyesuaian serta perubahan dengan segera, tidaklah mungkn dijalankan tanpa rencana jangka panjang dan persiapan termasuk perbaikan dan pembangunan proyek perumahan serta pekerjaan untuk umum. Kemungkinan penyesuaian yang fleksibel dalam program konstruksi dan program pembangunan pemerintah yang lengkap yang berubah dalam jangka panjang. Tetapi program pembelanjaan yang fleksibel tidak cukup. Hal yang amat penting adalah suatu system pajak yang fleksibel, yakni bila ingin melengkapi kebijaksanaan ant konjungtur yang efektif. Ekonomi modern yang bergerak dengan cepat, dengan kecenderungan mengarah ke fluktuasi yang hebat tidak dapat dikendalikan dengan efektif, kalau didasarkan atas struktur pajak yang tidak berubah, yang ditetapkan untuk masa dua tahun atau lebih, atau lebih buruk lagi sepanjang masa konjungtur. Meskipun begitu masyarakat disuatu negara  harus berfungsi, tidak saja sebagai roda pengimbang (mengimbangi fluktuasi di sektor partikelir), melainkan juga sebagai penyelenggara bagi dinas masyarakat yang penting serta untuk proyek pembangunan dasar yang merupakan dasar dan bantuan bagi industry partikelir. Masyarakat yang demikian itu membutuhkan program dari pemerintah yaitu program moneter dan fiscal pengimbang yang dikendalikan.










                                                                                         





No comments:

Post a Comment