Powered By Blogger

Friday 29 June 2012

Indikator Pembangunan Ekonomi


  1. Konsepsi pembangunan ekonomi
Pembangunan Ekonomi adalah usaha-usaha untuk meningkatkan taraf hidup suatu bangsa yang seringkali diukur dengan tinggi rendahnya pendapatan riil perkapita (Irawan dan M. Suparmoko, 6:2002). Di samping itu, pembangunan ekonomi juga dapat dikatakan sebagai  upaya untuk meningkatkan kesejahteraan ekonomi yang berskala besar, yakni skala sebuah Negara. Oleh karena skala yang besar tersebut, dalam rangka melakukan evaluasi keberhasilan pembangunan ekonomi masih sering mengalami kesulitan. Ditambah lagi ukuran tingkat kesejahteraan yang tidak sederhana karena meliputi banyak hal atau multidimensi. Untuk mengatasi hal-hal tersebut, ahli ekonomi pembangunan menyusun dan mengidentifikasikan berbagai indicator pembangunan.
Indikator merupakan sumber informasi yang sistematik serta obyektif yang hampir setiap hari beberapa surat kabar menulis statistic yang baru dikeluarkan oleh pemerintah. Indicator adalah sebuah instrument yang menunjukkan keterkaitan berbagai hal. Pemerintah misalnya, secara regular mensurvei rumah tangga ataupun perusahaan untuk mempelajari aktivitas dan dampak kegiatan mereka terhadap kesejahteraannya. Tanpa adanya indicator-indikator ini, pola atau gejala yang sedang terjadi serta pengaruhnya akan sulit diketahui secara pasti. Indikator yang diperoleh secara survey oleh pemerintah ataupun lembaga yang berkepentingan digunakan sebagai tolak ukur untuk mengawasi dan merumuskan suatu kebijakan. Dapat disimpulkan bahwa indicator pembangunan ekonomi adalah suatu instrument untuk mengetahui derajat pembangunan yang dilakukan oleh suatu Negara yang meliputi beberapa aspek.





Adapun pentingnya indicator-indikator pembangunan ekonomi adalah sebagai berikut :
1.   Memantau perilaku perekonomian
2.   Kepentingan analisis ekonomi
3.   Dasar pengambilan keputusan
4.   Dasar perbandingan internasional

Pembangunan Ekonomi memiliki tiga Indikator pokok, berikut ini adalah penjelasan dari masing-masing Indikator Pembangunan Ekonomi :
A.    Indikator Moneter
Indikator ini berkaitan dengan uang. Uang disini berupa tingkat income yang diterima oleh masyarakat. Dalam indicator moneter, ada beberapa indicator yang dapat diukur, yakni :
1.      Pendapatan Per Kapita
Pendapatan per kapita seringkali digunakan pula sebagai indicator pembangunan selain untuk membedakan tingkat kemajuan ekonomi antara Negara-negara nmaju dengan Negara sedang berkembang. Pendapatan per kapita selain dapat memberikan gambaran tentang laju pertumbuhan kesejahteraan masyarakat di berbagai Negara juga dapat menggambarkan perubahan corak perbedaan tingkat kesejahteraan masyarakat yang sudah terjadi di antara berbagai Negara.
Melalui indikator pendapatan perkapita ini Bank Dunia (2003) mengklasifikasikan negara menjadi tiga golongan, yaitu :
1.      Negara berpenghasilan rendah (low-income economies)
Negara-negara ini memiliki Pendapatan perkapita Kurang atau sama dengan US$ 745 pada tahun 2001.
2.      Negara berpenghasilan menengah (middle-income economies)
Kelompok Negara ini memiliki Pendapatan perkapita lebih dari US$ 745 namun kurang dari US$ 8.626 pada tahun 2001. kelompok Negara ini dibagi menjadi :
1)      Negara berpenghasilan menengah papan bawah (lower-middle-income economies)dengan GDP perkapita antara US$ 746 sampai US$2.975.
2)       Negara berpenghasilan menengah papan atas (upper-middle-income economies) dengan GDP perkapita antara US$2.976 sampai US$ 9.025.
3.      Negara berpenghasilan tinggi (high- income economies)
Negara di dalam kelompok ini mempunyai GDP perkapita sebesar US$ 9.206 atau lebih pada tahun 2001.
Dalam metode Purchasing Power Parity dikenal dua versi yaitu versi absolut dan versi relatif (Kuncoro, 2001: bab 10).Versi absolut menjelaskan bahwa kurs spot ditentukan oleh harga relative dari sejumlah barang yang sama (ditunjukkan oleh indeks harga).Sedangkan, versi relatif mengatakan bahwa persentase perubahan kurs nominal akan sama dengan perbedaan inflasi di antara kedua negara.
Dalam menggunakan pendapatan per kapita sebagai indicator pembangunan, kita harus senantiasa hati-hati dan teliti. Hal ini disebabkan oleh adanya pendapat yang mengatakan pembangunan itu bukan hanya sekedar meningkatkan pendapatan riil saja, akan tetapi kenaikan tersebut haruslah berkesinambungan yang disertai dengan perubahan sikap-sikap dan kebiasaan-kebiasaan social yang sebelumnya menghambat kemajuan-kemajuan ekonomi.
Ada beberapa kelemahan terkait digunakannya angka pendapatan per kapita sebagai indicator pembangunan ekonomi, akan tetapi pendekatan ini masih sangat cocok untuk digunakan dan mudah untuk dipahami, dan  indicator ini mungkin adalah indicator pembangunan ekonmoi satu-satunya yang “terbaik” yang ada pada saat ini.  Berikut ini adalah identifikasi-identifikasi kelemahan pendapatan perkapita,  sebagai Indikator Pembangunan Ekonomi :
1)            Kelemahan Umum Pendekatan Pendapatan Per Kapita
Kelemahan dalam indikator ini adalah bersumber pada anggapan bahwa tingkat kesejahteraan masyarakat ditentukan oleh besarnya pendapatan per kapita msayarakat tersebut.
Sudah lama orang meragukan kebenaran anggapan bahwa tingkat pendapatan masyarakat  merupakan cerminan dari tingkatan kesejahteraan yang dinikmati  oleh suatu masyarakat. Namun, masih tetap disadari bahwa tingkat pendapatan masayarakat adalah slah satu factor yang sangat penting yang menentukan tingkat kesejahteraan mereka, karena di samping itu ada beberapa factor lainnya yang seringkali merupakan factor yang cukup penting juga dalam menentukan tingkat kesejahteraan masyarakat.
Jika dibandingkan dengan kehidupan antar Negara, maka akan tampak factor-faktor lai selain dari factor pendapatan yang sangat berpengaruh pada tingkat kesejahteraan masyarakat. Factor-faktor non ekonomi tersebut seperti adat-istiadat, keadaan iklim dan alam sekitarnya, dn ad/tidaknya kebebasan mengeluarkan pendapat dan bertindak merupakan beberapa contoh yang akan menimbulkan perbedaan tingkat kesejahteraan di Negara-negara yang mempunyai pendapatan per kapita yang tidak jauh berbeda.
Penduduk yang ada di daerah pegunungan mempunyai pendapatan yang sama dengan penduduk yang hidup pada dataran  rendah. Berdasarkan perbedaan alamnya dapat dikatakan bahwa tingkat kesejahteraan penduduk di dataran rendah adalah lebih tinggi. Kesimpulan tersebut berdasarkan pada kenyataan bahwa pada umumnya penduduk dataran rendah menghadapi tantangan alam yang lebih sedikit. Di dataran rendah iklimnya tidak terlampau dingin, pertanian lebih mudah dilaksanakan sedangkan energy yang dikeluarkan untuk bergerak dari satu tempat ketempat yang lainnya relative lebih sedikit.
Demikian pula halnya akan ketiadaan kebebasan untuk bertindak dan mengeluarkan pendapat di Negara-negara Sosialis/Komunis  misalnya. Keadaan tersebut menyebabkan tingkat kesejahteraan masyarakatnya selalu dipandang lebih rendah dari yang dicerminkan oleh tingkat pertumbuhan ekonominya.
Diluar kedua hal yang diungkapkan diatas, ada beberapa pendapat yang mengemukakan bahwa kesejahteraan masayarakat merupakan suatu hal yang bersifat subyektif, yang berarti tiap orang mempunyai pandangan hidup, tujuan hidup, dan cara-cara hidup yang berbeda.  Dengan demikian memberikan pula nialai-nialai yang berbeda terhadap factor-faktor yang menentukan tingkat kesejahteraan mereka.
Dinamika sebuah masyarakat  beranggapan bahwa penumpukan kekayaan dan memperoleh pendapatan yang tinggi sebagai unsure penting untuk mencapai kepuasan hidup yang lebih tinggi. Disisi lain, sekeolmpok masyarakat lebih suka untuk memperoleh waktu senggang yang lebih banyak dan enggan untuk bekerja lebih keras untuk memperoleh pendapatan yang lebih tinggi.
Di samping hal-hal yang dikemukakan diatas, perlu diingat bahwa pembangunan ekonomi akan merubah kebiasaan-kebiasaan dalam masyarakat yang masih tradisional, seperti misalnya masyarakat menjadi berifat individualistis, dan hubungan antar orang semakin formal. Dengan demikian bertambahnya tingkat kesejahteraan masyarakat, tetapi disisi lain bertambahnya kesejahteraan masyarakat ini harus dibarengi dengan  pengorbanan riil dan usaha yang lebih banyak oleh masyarakat tersebut. Di satu pihak pembangunan ekonomi akan mempertinggi kesejahteraan masyarakat, di lain pihak tingkat kesejahteraan yang lebih tinggi ini harus dicapai dengan beberapa pengorbanan dalam perilaku hidup. Dengan kesimpulan, pembangunan ekonomi selain member menfaat kepada msyarakat, jga membutuhkan beberapa pengorbanan dalam masyarakat itu sendiri.
2).  Kelemahan Metodologis Pendekatan Pendapatan per Kapita
Nilai pendapatan perkapita secara khusus merupakan  indeks untuk menunjukkan perbandingan kesejahteraan dan jurang  tingkat kesejahteraan antar masyarakat masih mempunyai kelemahan. Kelemahan tersebut timbul karena perbandingan dengan cara demikian mengabaikan adanya perbedaan-perbedaan antara Negara dalam hal seperti, struktur umur penduduk, distribusi pendpatan masyarakat nasional, metode perhitungan pendapatan, dan perbedaan nilai mata uang nasional dengan mata uang dolar Amerika Serikat.
Di Negara sedang berkembang (NSB) biasanya proporsi penduduk di bawah umur dan orang usia muda adalah lebih tinggi daripada Negara-negara maju. Selain tingkat pendapatan itu sendiri, distribusi pendapatan merupakan factor penting lainnya yang menentukan kesejahteraan masyarakat. Factor ini sering tidak diperhatikan dalam membandingkan tingkat kesejahteraan masyarakat dan perubahannya dari waktu ke waktu jika indeks yang digunakan adalah tingkat pendapatan per kapita. Berdasarkan sejarah Negara-negara maju, pada tingkat awal pembangunan ekonomi distribusi pendapatan ini akan buruk, tetapi pada akhirnya distribusi pendapatan akan semakin membaik. Namun, sejarah yang dialami oleh Negara-negara maju tidak diikuti oleh Negara yang sedang berkembang. Perkembangan di banyak Negara sedang berkembang menunjukan bahwa dalam proses pembangunan tersebut justru distribusi pendapatannya lebih tidak merata.
Ada beberapa kelemahan yang sering dialami oleh Negara sedang berkembang dan Negara maju terkait kesejahteraan masyarakatnya yang diukur dari indicator pendapatan per kapita, yakni :
a.       Pola pengeluaran masyarakat di berbagai Negara sedang berkembang kadangkala sangat berbeda dan perbedaan ini menyebabkan dua Negara yang pendapatan per kapitanya sama belum tentu menikmati tingkat kesejahteraan yang sama. Misalnya dicontohkan dengan dua orang dengan pendapatan yang sama, tetapi salah seorang di antaranya harus mengeluarkan ongkos angkutan yang lebih tinggi untuk pergi ketempat kerja, harus berpakaian rapid an mewah, maka dapat diakatakan kedua orang tersebut mempunyai tingkat kesejahteraan yang sama tingginya.
b.      Perbedaan iklim juga menimbulkan perbedaan pola pengeluaran masyarakat di Negara yang sudah maju dan Negara yang sedang berkembang.  Masyarakat di Negara maju harus mengeluarkan uang lebih banyak untuk mencapai suatu tingkat kesejahteraan yang sama dengan Negara sedang berkembang. Pada umumnya iklim di Negara maju adalah lebih dingin jika dibandingkan dengan Negara yang sedang berkembang pada umumnya. Oleh karena penduduk di Negara maju menginginkan suasana iklim yang hangat yang sama dengan tingkatan kesejahteraan Negara sedang berkembang tersebut, maka penduduk di Negara yang maju akan mengeluarkan uang yang sedikit lebih banyak jika dibandingkan dengan Negara maju dalam hal memenuhi tingkat kesejahteraan yang sama.
c.       Komposisi (struktur) produksi nasional yang berbeda juga akan mempengaruhi tingkat kesejahteraan dua masyarakat yang mempunyai pendapatan per kapita yang sama. Suatu masyarakat akan menikmati tingkat kesejahteraan yang lebih rendah jika proporsi pendapatan nasional yang digunakan untuk anggaran pertahanan dan pembentukkan modal lebih tinggi daripada Negara lain yang memiliki pendapatan per kapitanya sama.
Dengan demikian, Metode perhitungan pendapatan nasional ini bersifat agregatif sehingga tidak dapat menunjukkan perubahan-perubahan serta distribusi antar sector.

B.     Indikator Non-Moneter
Indikator ini merupakan indicator yang diambil dari beberapa hal pokok yang berkaitan dengan kehidupan masyarakat. Sama halnya dengan indicator sebelumnya, Indikator memiliki beberapa macam-macam sub- Indikator. Berikut ini adalah uraiannya.
1.      Indikator Sosial
Ahli Pembangunan Ekonomi yang bernama Beckerman membedakan berbagai penelitian tentang cara-cara membandingkan tingkat kesejahteraan dalam 3 kelompok.
Kelompok pertama, merupakan suatu usaha untuk membandingkan tingkat kesejahteraan yang terjadi dalam masyarakat yang ada di dalam dua atau beberapa Negara dengan cara memperbaiki pelaksanaan dalam perhitungan pendapatan nasional biasa. Usaha ini dipelopori oleh Colin Clark yang selanjutnya disempurnakan oleh Gilbert dan Kravis.
Kelompok kedua, dengan usaha membuat penyesuaian dalam pendapatan masyarakat yang dibandingkan dengan melihat pertimbangan perbedaan tingkat harga disetiap Negara.
Kelompok ketiga, adalah usaha untuk membuat perbandingan tingkat kesejahteraan dari setiap Negara berdasarkan pada data yang tidak bersifat moneter seperti, jumlah kendaraan bermotor, konsumsi minyak, jumlah penduduk yang mengenyam pendidikan, dan usaha ini dipelopori oleh tokoh yang bernama Bennet.
Menurut Beckerman, dari tiga cara diatas, cara yang dirasa paling tepat adalah cara yang dilakukan oleh Gilbert dan Kravis. Cara ini merupakan usaha untuk membandingkan tingkat kesejahteraan dan pembangunan di berbagai Negara dengan memperbaiki metode pembanding dengan menggunakan data pendapatan nasional dari masing-masing Negara.
Dengan cara-cara diatas memiliki kelemahan pada Negara sedang berkembang. Pada dasarnya Negara berkembang tidak memiliki data-data tentang cara-cara diatas. Sehingga Beckerman mengemukakan lagi cara yang lain dalam membandingkan tingkat kesejahteraan masyarakat di berbagai Negara yaitu dengan menggunakan data yang bukan bersifat moneter untuk menentukkan indeks kesejahteraan masyarakat disetiap Negara. Cara ini sering disebut dengan Indikator Non-Moneter Disederhanakan. Untuk itu, berikut adalah data yang dapat digunakan untuk memperoleh indikator tersebut.
a.       Jumlah konsumsi baja dalam satu tahun (kg)
b.      Jumlah konsumsi semen dalam satu tahun dikalikan 10 (ton)
c.       Jumlah surat dalam negeri dalam satu tahun.
d.      Jumlah persediaan pesawat radio dikalikan 10.
e.       Jumlah persediaan telpon dikalikan 10.
f.       Jumlah persediaan berbagai jenis kendaraan.
g.      Jumlah konsumsi daging dalam satu tahun (kg).
Usaha lain juga dilakukan oleh United Nations Research Institute for Social Development (UNRISD) untuk menentukan dan membandingkan tingkat kesejahteraan suatu Negara. Untuk menciptakan indeks taraf pembangunan, ada 18 jenis data yang harus diperoleh yakni :
a.          Tingkat harapan hidup.
b.         Konsumsi protein hewani perkapita.
c.          Presentase anak-anak yang belajar di sekolah dasar dan menengah.
d.         Persentase jumlah anak yang bersekolah di kejuruan.
e.          Jumlah surat kabar.
f.          Jumlah telepon.
g.         Jumlah radio.
h.         Jumlah penduduk di kota-kota yang mempunyai 20.000 penduduk atau lebih.
i.           Persentase laki-laki dewasa di sector pertanian.
j.           Persenatse tenaga kerja (dari seluruh tenaga kerja yang mempunyai pekerjaan) yang bekerja di sector listrik, gas, air,  kesehatan, pengangkut, pergudangan, dan komunikasi.
k.            Persentase tenaga kerja (dari keseluruhan tenaga kerja yang memiliki pekerjaan) yang memperoleh gaji.
l.              Presentase Produk Domestik Bruto (PDB) yang berasal dari industry-industri pengolahan (manufacturing).
m.          Konsumsi energi perkapita.
n.            Konsumsi listrik perkapita.
o.            Konsumsi baja perkapita.
p.            Nilai per kapita perdagangan luar negeri.
q.            Produk pertanian rata-rata dari pekerja laki-laki di sector pertanian.
r.        Pendapatan per kapita Produk Nasional Bruto.

Apabila indeks pembangunan yang diusulkan oleh UNRISD ini digunakan sebagai indicator kesejahteraan atau pembangunan ekonomi, maka perbedaan tingkat pembangunan antara negara maju dan negara sedang berkembang tidak terlalu besar seperti yang digambarkan berdasarkan pendapatan perkapita masing-masing Negara.
2.      Indeks Kualitas Hidup dan Indeks Pembangunan Manusia
Untuk mengukur tingkat kesejahteraan masyarakat, ada sebuah indeks gabungan yang dikenal dengan Physical Quality of Line Index (PQLI) dan Indeks Kualitas Hidup (IKH). Indeks ini diperkenalkan oleh Morris D. Morris. Indeks Kulaitas Hidup (IKH) terdiri dari 3 indikator yakni, tingkat harapan hidup, angka kematian, dan tingkat melek huruf.
Sejak tahun 1990, United Netions for Development Program (UNDP) mengembangkan indeks yang sering dikenal dengan istilah Indeks Pembangunan Manusia (HDI). Sedangkan indicator yang digunakan untu mengukur indeks ini adalah :
1.      Tingkat harapan hidup.
2.      Tingkat melek huruf masyarakat.
3.      Pendapatan riil perkapita berdasarkan daya beli masing-masing Negara.
Indeks HDI ini besarannya antara 0 sampai dengan 1,0. Apabila angka indeks yang diperoleh dari suatu Negara mendekati 1, maka HDI di Negara tersebut semakin tinggi. Sedangkan, apabila angka indeks mendekati 0, maka Negara tersebut memiliki indeks pembangunan manusia yang rendah.
C.    Indikator Campuran
1.   Pendidikan
Pendidikan adalah suatu indicator yang digunakan dalam mengukur pembangunan ekonomi suatu Negara. Pada umumnya, dalam Negara maju tingkat pendidikan rata-rata tinggi dengan TPAK dari tahun ketahun selalu meningkat. Negara maju sangat memperhatikan tingkat pendidikan para penduduknya. Berbeda dengan Negara sedang berkembang, pendidikan di NSB masih rendah jika dibandingkan Negara maju. Terbukti tingkat melek huruf dan TPAk serta angka partisipasi sekolah masih rendah. Sehingga, dari perbandingan tersebut, indicator yang dapat diukur dalam pendidikan yakni ; tingkat pendidikan, tingkat melek huruf, dan tingkat partisipasi pendidikan.
2.      Kesehatan
Kesehatan merupakan hak asasi yang harus dipenuhi demi keberlangsungannya kehidupan bermasyarakat. Indikator tingkat kesehatan dapat dilihat dari rata-rata hari sakit dan ketersediaannya fasilitas kesehatan. Ketika terpenuhinya pembangunan ekonomi berupa kesejahteraan dalam bidang kesehatan, dapat dilihat dari beberapa indikasi berupa tingkat mortalitas yang rendah, angka pertumbuhan penduduk yang tinggi, dan angka harapan hidup yang tinggi.
3.      Perumahan
Rumah merupakan kebutuhan primer yang harus terpenuhi oleh masing-masing penduduk.  Indicator perumahan yang sesuai dengan tujuan kesejahteraan penduduk yakni sumber air bersih dan listrik, sanitasi, dan mutu rumah tinggal.
4.      Angkatan Kerja
Penduduk yang dikatakan angkatan kerja adalah orang yang telah berumur 15-64 tahun. Angkatan kerja ini juga dibagi lagi menjadi dua yakni bekerja dan sedang mencari pekerjaan (Menganggur). Indikator yang dapat digunakan untuk mengukur kesejahteraan angkatan kerja adalah, partisipasi tenaga kerja, jumlah jam kerja, sumber penghasilan utama, dan status pekerjaan.
5.      KB dan Fertilitas
Indikator yang dapat digunakan yakni, penggunaan asi, tingkat imunisasi, kehadiran tenaga kesehatan pada kelahiran, dan penggunaan alat kontrasepsi.
6.      Ekonomi
Pembangunan ekonomi pada dasarnya di ikuti dengan pertumbuhan ekonomi. Dengan adanya pertumbuhan ekonomi, kita dapat melihat Indikator ekonomi itu sendiri, yakni tingkat pendapatan dan konsumsi per kapita.
7.      Kriminalitas
Pada dasarnya Negara maju memiliki tingkat kriminalitas yang rendah, hal ini disebabkan sudah lengkapnya alat keamanan Negara yang digunakan oleh Negara tersebut.  Hal ini berbeda dengan keadaan di Negara sedang berkembang. Di NSB, banyak terjadi kriminalitas yang disebabkan beberapa factor seperti adanya cultural shock, ketidak mampuan dalam memenuhi kebutuhan, dan adanya kepentingan dari suatu pihan. Indicator kriminalitas itu sendiri diantaranya adalah, jumlah pencurian per tahun, jumlah pembunuhan per tahun, dan jumlah pemerkosaan per tahun.
8.      Perjalanan Wisata
Indikatornya adalah frekuensi perjalanan wiata per tahun.
9.      Akses Media Massa
Akses media bertujuan untuk memenuhi kebutuhan informasi dalam masyarakat itu sendiri. Indikatornya antara lain : jumlah surat kabar, jumlah radio, dan jumlah televisi.

D.    Berikut beberapa perbandingan indikator pembangunan ekonomi indonesia dengan beberapa negara lainya :
Jika di lihat dari tingkat PDB ( Pendapatan domestik Bruto ) Indonesia berada pada peringkat 18 dunia. Data ini di dapatkan dari world bank tahun 2009, namun apabila mengacu pada data world bank tahun 2010 Indonesia Indonesia menduduki peringkat ke 16 dunia, naik dua tingkat dari peringkat tahun 2009.

Kebijakan Fiskal Lanjutan


A. Prinsip Kebijakan Fiskal Negara
Pada prinsipnya, suatu kebijakan fiskal dilaksanakan untuk mendorong pertumbuhan ekonomi, melindungi penduduk dari ketidakpastian dan pajak yang eksesif, serta untuk membantu para pembuat peraturan perundangan dalam mengatasi kesulitan ekonomi. Instrumen yang dapat digunakan pemerintah dalam penerapan kebijakan fiskal tersebut antara lain: pajak, subsidi, dan anggaran. Menurut Joseph L. Bast, Steve Stanek, dan Richard Vedder, Ph.D, ada sepuluh prinsip yang harus ditaati dalam penyusunan kebijakan fiskal, yaitu:
1.      Menjaga tarif pajak yang rendah
Sejarah membuktikan bahwa tarif pajak yang tinggi akan menghambat pertumbuhan ekonomi dan kesejahteraan. Suatu paradox yang terjadi di Indonesia adalah dari tahun ke tahun pajak semakin menjadi andalan pendapatan utama Negara dalam APBN. Namun hal itu dapat dimaklumi sepanjang peningkatan diperoleh dari bertambahnya jumlah Wajib Pajak yang mampu dan bukan dari peningkatan tarif pajaknya atau jumlah item barang yang kena pajak.
2.      Jangan memotong pendapatan atas investasi
Para investor datang untuk meningkatkan penghasilan atas investasi yang ditanamkannya, sehingga jika dipotong pajak akan menurunkan minat investasi dan menghambat pertumbuhan ekonomi. Hal ini telah dilakukan dengan tidak mengenakan pajak atas dividen dari pembagian laba perusahaan. Namun untuk laba perusahaan yang memperoleh dana investasi tersebut tidak perlu mendapatkan perlakuan khusus (lihat prinsip No. 6).

3.      Hindari dosa pajak
Penerapan pajak yang tidak fair dan bersifat regresif. Contohnya pengenaan PPN atas barang dan jasa yang cenderung berganda. Hal ini sering dimanfaatkan oleh perusahaan untuk mendapatkan restitusi pajak fiktif dan membebani masyarakat sebagai pembeli akhir. Keadilan pajak seharusnya dapat mencontoh pada mekanisme pemungutan zakat, misalnya zakat harta dikenakan sebesar 2,5% atas harta minimal (nisab) yang setara dengan suatu hitungan emas tertentu (96 gram emas) dalam satu tahun. Dimana jumlah prosentase zakat tetap, namun orang yang lebih kaya akan membayar lebih banyak sesuai jumlah harta yang dimiliki.
4.      Menciptakan mekanisme penyusunan anggaran yang transparan dan akuntabel
Hal ini dapat dilakukan dengan memusatkan perhatian dan sumber daya untuk menyediakan pelayanan yang menjadi fungsi utama (the core functions) pemerintah.
Suatu paradigma baru bahwa sejak penyusunan anggaran harus transparan dan menunjukkan tingkat kinerja yang hendak dicapai dari fungsi utama pelayanan publik, dimana hal ini harus didukung dengan mekanisme pelaporan dan evaluasi atas pencapaian kinerja yang terukur sesuai dengan perencanaannya.
5.      Melakukan privatisasi atas Pelayanan Publik
Tujuan privatisasi bukan sekadar untuk memperoleh tambahan pendapatan negara, namun merupakan suatu cara yang tepat untuk mengurangi belanja pemerintah sekaligus untuk meningkatkan mutu pelayanan publik tersebut. Dengan prinsip tersebut maka prioritas privatisasi adalah kepada perusahaan negara/daerah tidak efisien yang membebani keuangan negara (merugi), dan bukan kepada perusahaan yang menguntungkan.
6.      Hindari pembayaran subsidi kepada korporasi
Pemberian subsidi kepada korporasi atau pengurangan pajak secara selektif dapat menimbulkan pertanyaan secara politik dan membawa dampak buruk bagi perekonomian. Indonesia masih menerapkan susbsidi kepada korporasi misalnya subsidi BBM kepada Pertamina, subsidi pupuk kepada PT Pusri, dan subsidi listrik kepada PLN. Pemberian subsidi korporasi berdampak pada terciptanya disparitas harga, kesulitan mengukur kinerja korporasi yang disubsidi, rumitnya mekanisme pencatatan akuntansi pada sisi keuangan pemerintah dan sisi korporasi, serta kesulitan dalam pemeriksaan atas jumlah subsidi yang harus dibayarkan.
7.      Membatasi pajak dan belanja pemerintah
Pembatasan atas pajak dan pengeluaran pemerintah akan melindungi pemerintah dari tekanan publik untuk membelanjakan surplus pendapatan pajak pada saat kondisi ekonomi baik sebagai cadangan jika terjadi kesulitan ekonomi (krisis). Prinsip ini menghendaki pada saat surplus anggaran, pemerintah dapat melakukan penghematan dan menabung sebagai cadangan agar dapat digunakan pada saat terjadi kesulitan ekonomi.
8.      Membiayai siswa dan bukan memberikan dana kepada sekolah
Berdasarkan pengalaman pemberian dana langsung ke sekolah seperti block grant, dan BOS akan sulit diukur pencapaian tingkat kinerjanya, dibandingkan dengan cara sekolah menetapkan jumlah biaya pendidikan yang dibutuhkan oleh setiap siswa sesuai pencapaian akademis yang diinginkan dan pemerintah harus membiayai siswa yang tidak mampu. Misalnya dengan mekanisme pemberian beasiswa yang diberikan oleh institusi atau yayasan, seperti Supersemar, Ausaid, USaid dll.
9.      Reformasi mekanisme pemberian bantuan kesehatan
Pengeluaran untuk bantuan kesehatan biasanya menjadi tidak terkendali atau terjadi penurunan mutu pelayanan yang diterima pasien dengan bantuan kesehatan.
Hal ini seperti yang terjadi pada program jaminan kesehatan masyarakat miskin dengan PT Askes (Askeskin) yang membengkak karena kurangnya pengendalian atas tagihan vendor kepada PT Askes dan pelayanan yang diberikan Rumah Sakit kepada pasien Askeskin mutunya sangat buruk.
10.  Melindungi pegawai pemerintah (PNS) dari politik
Pemerintah harus mewaspadai penggunaan dana untuk keperluan politik dari pembayaran yang dilakukan oleh pegawai pemerintah. PNS dalam jumlah yang besar merupakan vote getter yang diperebutkan oleh partai dan kandidat, sehingga akan mempengaruhi independensi dan tidak menutup kemungkinan penggunaan fasilitas dan dana pemerintah untuk kepentingan kelompok tertentu, sehingga layak dipertimbangkan bahwa PNS juga tidak perlu menggunakan hak pilihnya dalam Pemilu seperti halnya anggota TNI dan POLRI. Selain itu berapa biaya Pemilu yang dapat dihemat dari berkurangnya mata pilih dari PNS tersebut.
B. Matriks Resiko Fiskal (The Fiscal Risk Matrix)
 Issu-issu kontinjensi fiskal merupakan bagian integral dari issu-issu resiko fiskal pemerintah secara menyeluruh, yaitu, sumber-sumber kewajiban pembiayaan yang akan menjadi beban berat dari otoritas fiskal suatu negara yang mungkin terjadi pada waktu yang akan datang. Brixi dan Mody (2002)4 mengidentifikasi empat sumber utama resiko fiskal, yaitu: (1) direct liabilities (kewajiban langsung); (2) contingent liabilities (kewajiban kontinjensi/laten); (3) explicit liabilities (kewajiban eksplisit); dan (4) implicit liabilites (kewajiban implisit). Kewajiban-kewajiban langsung (direct liabilites) adalah kewajiban-kewajiban yang dapat diprediksikan (predictable) yang dapat terjadi dalam setiap kejadian. Kewajiban laten (contingent liabilites) adalah kewajiban-kewajiban yang akan menjadi beban nyata fiskal dengan adanya suatu kejadian tertentu. Sebagai bahan untuk kebijakan pemerintah, probabilita terjadi dan besarnya uang untuk menutupi kewajiban laten tersebut adalah exogenous (sebagai contoh, adalah jika terjadi bencana alam) atau endogenous (sebagai contoh, implikasi-implikasi dari kelembagaan pasar atau bersumber dari rancangan program pemerintah yang menciptakan moral hazards (sulit membedakan antara yg berhak dan tidak berhak) di pasar). Beban laten fiskal dapat juga meningkat dengan adanya kelemahan dari kerangka makroekonomi, sektor keuangan, dan sistem-sistem regulasi dan pengawasan, dan lemahnya keterbukaan informasi pasar. Beban-beban laten fiskal tersebut dapat juga bersumber dari kegiatan-kegiatan kuasi fiskal–yaitu, kegiatan-kegiatan yang bersifat fiskal tetapi dilaksanakan diluar anggaran pemerintah. Kewajiban-kewajiban eksplisit adalah kewajiban-kewajiban pemerintah yang secara spesifik ditetapkan oleh undang-undang atau kontrak. Pemerintah diwajibkan secara hukum untuk menyelesaikan hal tersebut dalam waktunya. Kewajiban-kewajiban implisit merupakan kewajiban moral atau kewajiban yang sudah sewajarnya menjadi beban pemerintah (expected burden) tetapi bukan dalam nuansa hukum, yang dikehendaki oleh masyarakat atau oleh karena adanya tekanan politis (political pressures).
Kewajiban ekplisit langsung pemerintah adalah kewajiban-kewajiban menurut hukum atau kontrak pemerintah. Kewajiban-kewajiban ini merupakan subjek utama dalam analisis fiskal konvensional. Hal tersebut adalah: pembayaran utang pemerintah, pengeluaran-pengeluaran yang diatur dalam uu APBN dalam tahun anggaran yang sedang berjalan, pengeluaran-pengeluaran dalam jangka panjang untuk pos-pos anggaran yang diwajibkan oleh uu seperti gaji PNS dan pensiunan dan, di beberapa negara bahkan dana sistem jaminan sosial secara keseluruhan. Diantara pos-pos ini, literatur terkini sudah memfokuskan pada resiko-resiko dalam ukuran dan struktur dari portofolio utang pemerintah (lihat Nars 1997, Bank Dunia dan IMF 2000, dan Dooley 2000 untuk overview).
Kewajiban implisit langsung pemerintah akan juga muncul dalam beberapa kegiatan, tetapi pemerintah tidak diwajibkan secara hukum untuk melakukan tindakan. Kewajiban-kewajiban yang demikian sering muncul sebagai konsekuensi dari kebijakan pengeluaran pemerintah dalam jangka panjang. Mengingat sifatnya yang implisit, kewajiban-kewajiban ini tidak dicantumkan dalam neraca-neraca pemerintah (government balance sheets). Utamanya, kewajiban-kewajiban seperti ini cenderung tinggi untuk bentuk-bentuk pengeluaran yang terkait dengan demografis. Sebagai contoh, pembayaran pensiun PNS untuk masa yang akan datang dalam sistem pay-as-you-go, jika tidak dijamin oleh uu, adalah merupakan suatu kewajiban implisit langsung. Ukurannya mencerminkan ekspekstasi kedermawaan dan yang berhak untuk mendapatkan pensiun dan demografi serta pembangunan ekonomi di masa mendatang. Diantara kewajiban langsung implisit, literatur terkini sudah secara khusus membahas kewajiban-kewajiban pensiun pemerintah (World Bank 1994; IMF 1996; OECD 2000; Bodie dan Davis 2000).
Kewajiban eksplisit laten (contingent explicit liabilites) adalah kewajiban-kewajiban pemerintah yang jelas-jelas diatur dalam peraturan perundang-undang yang berlaku, untuk melakukan pembayaran jika suatu kejadian tertentu terjadi. Mengingat beban fiskal dari kewajiban fiskal eksplisit laten adalah tidak terlihat sampai dengan waktu terjadinya, hal ini merupakan subsidi yang tersembunyi, mengaburkan analisis fiskal, dan menyedot keuangan pemerintah hanya pada waktu yang akan datang dan tidak dapat ditentukan kapan. Untuk alasan itu, jaminan-jaminan pemerintah daerah dan pembiayaan melalui lembaga-lembaga yang dijamin oleh pemerintah daerah kelihataanya secara politis lebih menarik dari bantuan anggaran walaupun hal ini di kemuadian hari dapat saja menjadi lebih mahal. Di pasar, kewajiban-kewajiban laten pemerintah dapat dengan segera menciptakan moral hazards, khususnya jika jaminan pemerintah mencakup seluruh dan bukan sebagian dari assets yang terkait (underlying assets) dan seluruh serta bukan sebagian dari resiko bisnis dan komersiel. Skim asuransi pemerintah daerah sering mengkaper resiko-resiko yang tidak lazim diasuransikan, yang sangat besar dalam jumlah keseluruhannya. Oleh karena itu, dari pada membiayainya sendiri dari fees, mereke meredistribusikan kekayaan, dan mengandalkan pembiayaan pemerintah netto. Sejauh ini, penelitian sudah memfokuskan pada issu-issu pengukuran dan manajemen jaminan-jaminan untuk pinjaman (Mody dan Patro 1996; Lewis dan Mody 1997), jaminan-jaminan investasi sektor infrastruktur (Chase Manhattan Bank 1996; Irwin dan lain-lain 1998), lembaga-lembaga keuangan dan pembangunan pemerintah daerah (Yaron 1992), jaminan-jaminan pensiun (Pennacchi 2002), asuransi simpanan bank (Leaven 2000; World Bank 2001a), asuransi palawija (crop insurance) (Hueth dan Furtan 1994), dan skim-skim asuransi pemerintah daerah (U.S. GAO 1998; dan Feldman 2002).
Kewajiban-kewajiban laten implisit (contingent implicit liabilities) tergantung pada ada tidaknya suatu kejadian tertentu di waktu mendatang dan kesediaan pemerintah untuk bertindak atau melibatkan diri. Kewajiban-kewajiban yang demikian biasanya tidak begitu diperhatikan sampai adanya kejadian. Hal-hal yang menjadi pemicu, resiko biaya, dan jumlah dana pemerintah yang dibutuhkan adalah tidak pasti. Di banyak negara, sistem keuangan merupakan sumber kewajiban laten implisit pemerintah yang paling parah. Pengalaman-pengalaman sudah menunjukan bahwa pasar mengharapkan pemerintah memberikan bantuan keuangan melebihi kewajiban hukum jika sistem keuangan berada di ujung tombak (lihat misalnya, Claessens dan Klingebiel 2002; dan Bank Dunia 2001a). Otoritas fiskal sering juga didesak untuk menutupi kerugian-kerugian dan kewajiban-kewajiban bank sentral, pemerintah daerah, BUMN dan perusahaan-perusahaan swasta yang besar, lembaga-lembaga pemerintah baik yang didalam maupun yang diluar (off budget) operasi fiskal normal, dan lembaga-lembaga lain yang memiliki peran politis yang penting.

Tabel 1 berikut ini secara sistematis menyajikan resiko fiskal pemerintah. Tabel ini penulis terjemahkan dari Tabel 1.1. Brixi dan Mody (2002).
Table 1.1. Matriks Resiko Fiskal Pemerintah
Sumber-Sumber
Kewajiban
Kewajiban Langsung
(kewajiban pada setiap komitmen)
Kewajiban-Kewajiban Laten (kewajiban jika peristiwa tertentu terjadi)
Implisit
Kewajiban Eksplisit Pemerintah (sebagaimana tercantum dalam UU atau kontrak)

• Utang negara (surat utang dan sekuritas yang diterbitkan oleh pemerintah pusat)
• Komposisi pengeluaran (pengeluaran wajib)
• Pengeluaran yang wajib dikeluarkan dalam jangka panjang (gaji dan pensiunan)


• Jaminan yang  diterbitkan oleh pemerintah daerah dan kewajiban-kewajiban lain pemerintah daerah dan lembaga pemerintah daerah dan sektor swasta ( bank pembangunan daerah)
• Payung jaminan pemerintah untuk berbagai jenis pinjaman ( kredit KPR, pinjaman pendidikan, KUT, kredit UKM)
• Jaminan perdagangan dan kurs yang diterbitkan oleh pemerintah
• Jaminan pemerintah untuk investasi swasta

Skim-skim asuransi pemerintah daerah (asuransi simpanan bank, pendapatan dari dana pensiun swasta, asuransi tanaman pangan, asuransi kebanjiran, asuransi resiko perang)
Implisit
Kewajiban moral implisit pemerintah pencerminan kelompok kepentingan dan kelompok penekan

• Pensiun masyarakat umum untuk masa mendatang ( lawan dari pensiun PNS) *
• Skim-skim jaminan sosial *
• Pembiayaan layanan kesehatan yang akan datang
• Biaya rutin yang akan dikeluarkan nanti untuk proyek investasi pemerintah sekarang


• Gagal bayar pemerintah daerah atau lembaga pemerintah atau swasta atas utang/kewajiban yang tidak ada koleteral
• Kegagalan perbankan (talangan diluar asuransi pemerintah, jika ada)
• Tunggakan kewajiban dari lembaga yang sedang diprivatisasi
• Kegagalan dana pensiun tanpa jaminan, tssbungsn buruh, jaminan social security
• (perlindungan untuk investor kecil)
Kemungkinan modal sendiri negatif dan atau gagal bayar bank sentral (kontrak valuta asing, perlindungan mata uang domestik, neraca pembayaran)
• Kebutuhan dana talangan lain (misalnya, sehubungan adanya arus balik dari aliran modal)
• Pemulihan lingkungan, bantuan bencana alam, pembiayan militer
Keterangan: Tanda (*) menyatakan bahwa dalam kerangka ini, pelayanan seperti ini masuk dalam kategori kewajiban implisit langsung pemerintah jika penyediaannya tidak diwajibkan oleh Undang-Undang. Jika diwajibkan oleh Undang-Undang, maka pelayanan seperti ini masuk dalam kategori kewajiban eksplisit langsung pemerintah.
Sumber: dialih bahasakan dari Polackova (1998) dalam Tabel 1.1 Brixi dan Mody (2002).

C. Kerangka Umum Pengurangan Celah Resiko Pemerintah
Brixi dan Mody (2002) mengemukakan tiga kerangka umum untuk pengurangan celah resiko (risk exposure) pemerintah, yaitu: (1) melakukan upaya sistematis (systematic measures); (2) pengendalian menurut program; dan (3) solusi sektor swasta.
Table 1.2. Pengurangan Celah Resiko Pemerintah
Sumber Resiko
Disain Pengurangan Resiko
Pengurangan Celah untuk Resiko yang Ditanggung
Jaminan-Jaminan








Tutup hanya resiko-resiko tertentu seperti resiko politik/kebijakan
Atur resiko dalam kewajiban langsung dan portofolio aktiva (misalnya, kurangi celah atas valuta yang relevan jika resiko kurs dijamin pemerintah).
Bangun dana cadangan untuk seluruh jaminan-jaminan.
Batasi total benefits yang dibayar s/d jumlah dana cadangan.
Yakinkan kecukupan cadangan mentransformasikan dana cadangan ke perusahaan. Publik yang sahamnya diperdagangkan dengan bebas.
Asuransi Bencana
Buat batas maksimum santunan. Asuransikan resiko tengah dan bukan resiko pertama.
Terbitkan obligasi bencana (mungkin dalam paket bencana yang lebih mungkin terjadi).
Beli reasuransi untuk resiko diluar dari yang layak untuk ditanggung oleh fiskal.
Asuransi Simpanan
Wajibkan keterbukaan informasi, terapkan regulasi dan supervisi yang ketat, sebelum pelaksanaan program asuransi simpanan.
Batasi Maksimum Santunan.
Asuransikan resiko tengah dan bukan resiko pertama.
Buat dana cadangan terpisah.
Batasi total benefits yang dibayar s/d jumlah dana cadangan.
Yakinkan kecukupan cadangan dengan cara mentransformasikan dana cadangan ke perusahaan. Publik yang sahamnya diperdagangkan dengan bebas

Dukungan Harga
Manfaatkan sisi positif mekanisme lelang
Tutup hanya resiko-resiko ter-tentu seperti resiko politik/kebijakan.
Beli payoff-replicating derivativies.
Beli reasuransi.
Jaminan-Jaminan Implisit ke Bank dan Perusahaan.
Buat pengumuman dan laku-kan upaya untuk memini-mumkan moral hazard.
Upayakan lini kredit kontinjensi dari IMF
Privatisasi dan Penjualan Asset
Cari investor stratejik (pendapatan yang akan datang)
Maksimumkan pendapatan privatisasi
Gunakan penerimaan untuk mengurangi kewajiban pemerintah atau kewajiban yang akan datang.
Pembelian asset bermasalah
Bayar sesuai dengan estimasi harga pasar (sebagian dari tujuan rekapitalisasi)
Perkenankan mekanisme pasar mengatasi asset bermasalah (kuatkan posisi kreditur, proses kebangkrutan, dan lain sebagainya).
Buat pengumuman dan upayakan untuk meminimumkan ekspektasi kemungkinan perulangan pembelian asset pada waktu mendatang.
Jual asset bermasalah secepat mungkin
Pajak komoditi
Berlakukan basis pembayaran yang independen terhadap harga komoditi..
Terbitkan obligasi yang terkait komoditi.
Beli derivatives yang terkait dengan komoditi..
Beli asuransi.
Pembayaran kembali pinjaman langsung
Syaratkan koleteral.
Beli asuransi gagal bayar (ngemplang).
Sumber: Dialibahasakan dari Tabel Brixi dan Mody (2002).
D. Kasus Indonesia
Brixi dan Gooptu (2002) mengidentifikasi ada sepuluh jenis kewajiban kontinjensi fiskal Indonesia, hingga akhir tahun 2000. Dari sepuluh jenis tersebut, empat merupakan kewajiban kontinjensi eksplisit (kewajiban pemerintah yang tercantum dalam UU atau kontrak), dan enam implisit (kewajiban moral pemerintah yang merefleksikan tekanan kelompok dan publik).
Kewajiban-kewajiban eksplisit adalah: (1) blanket guarantee atas simpanan bank (biayanya 600 trilliun rupiah dalam tahun 1997-99); (2) jaminan atas interbank claims; (3) payung jamina n atas pinjaman non-utang negara oleh UKM, petani, Bulog, dan lembaga lain; dan (4) jaminan perdagangan dan selisih kurs via bank ekspor, BPPN, dan lembaga-lembaga lain. Sedangkan kewajiban-kewajiban kontinjensi implisit adalah: (1) kerugian yang terkait dengan take-or-pay kontrak dari perusahaan public utilities; (2) dukungan pada perusahaan-perusahaan (pemerintah mungkin menutupi kerugian dan memikul kewajiban non-jaminan dari badan usaha milik pemerintah dan swasta); (3) subsidi yang terkait dengan harga beras dan BBM via BULOG dan Pertamina; (4) adanya kemungkinan untuk bank rekapitalisasi lanjutan yang gagal mencapai CAR 8% pada akhir tahun 2001; (5) adanya kemungkinan untuk rekapitalisasi lanjutan BI; dan (6) adanya kemungkinan pengalihan kewajiban pemerintah daerah ke pusat.
Hasil kajian menunjukan hasil yang berbaur (mixed results); positif dan negatif. Positif artinya terdapat beberapa kebijakan fiskal yang memberikan indikasi yang kuat bahwa pemerintah berupaya untuk mengurangi kewajiban-kewajiban fiskal kontinjensi dan atau untuk mengurangi celah-celah resiko fiskal pemerintah. Negatif artinya terdapat beberapa kebijakan fiskal pemerintah yang bahkan memperbesar kewajiban fiskal kontinjensi dan atau memperbesar celah-celah resiko fiskal pemerintah. Hasil positif dan negatif tersebut akan dipaparkan secara berurutan.
1.      Hasil Positif
a.      Upaya penurunan stok utang pemerintah
Perhatian pada stok utang ini sangat penting sebab beban bunga, pembayaran cicilan, dan porsi yang jatuh tempo, sangat mempengaruhi kemampuan pemerintah untuk menyediakan anggaran pembangunan, pengurangan kemiskinan, dan pemeliharaan jalannya roda pemerintahan. Selain itu, stok utang yang tinggi juga akan mempengaruhi keyakinan pemodal asing dan suku bunga domestik. Dalam kaitan ini, Bank Dunia (2003)  menyatakan:
Tetapi hutang pemerintah Indonesia masih memberikan tekanan yang berat terhadap sistem fiskal. Pembayaran atas kewajiban-kewajiban hutang yang jatuh tempo dewasa ini merongrong kemampuan pemerintah untuk mempertahankan pengeluaran penting untuk pembangunan dan program-program yang terkait dengan kemiskinan. Lebih jauh lagi, kekhawatiran terhadap sustainabilitas hutang pemerintah berdampak atas keyakinan pemodal, yang memengaruhi suku bunga domestik dan kemampuan Indonesia untuk menarik modal asing. Tingginya hutang pemerintah juga meningkatkan kerawanan, sangat membatasi kemampuan pemerintah untuk mengendalikan goncangan-goncangan baru, dan hanya menyisahkan sedikit ruang gerak untuk mengelola ekonomi.”
Fakta menunjukan bahwa pengurangan stok utang telah menjadi pusat perhatian pemerintah Indonesia. Komitmen pemerintah tersebut tertuang dalam Program Pembangunan Lima Tahun (Propenas) tahun 2000 dan Rencana Pembangunan Tahunan (Rapeta), mulai tahun 2001 s/d sekarang. Baik Propenas maupun Rapeta secara tegas menargetkan penurunan stok utang menjadi dibawah 60% PDB. Komitmen ini kelihatannya telah dilaksanakan dengan konsisten; stok utang pada akhir tahun 2001 adalah 87% PDB, 2002 76% PDB, 2003 67% PDB, 2004 60,1%PDB, 2005 (proyeksi) 54,9% PDB.
b.      Reformasi Penganggaran APBN
Reformasi penganggaran APBN sudah berlangsung sejak tahun 2001 dengan dirubahnya format APBN dari T-Account menjadi I-Account yang antara lain secara eksplisit memperlihatkan kondisi surplus/defisit. Ulfa dan Anggito (2003) mengatakan “….Walaupun demikian, sebagian dari prinsip-prinsip dari kedua kaidah14 tersebut sudah dapat diterapkan secara bertahap. Misalnya, memindah bukukan komponen rutin dari anggaran pembangunan ke pos anggaran rutin.”
Dalam tahun 2004 dewasa ini, Departemen Keuangan, Bappenas, dan Sekretariat DPR RI sedang mempersiapkan program reformasi pengangarann yang lebih komprehensif. Program ini dinamakan GFMRAP (Government Finance Management Reform and Accounting Procedure) dan mendapat bantuan pinjaman program dari Bank Dunia, yang akan segera dimulai dalam semester kedua tahun ini juga.
Tujuan umum dari GFMRAP adalah untuk membuat penganggaran yang lebih baik, mencakup: (i) keterkaitan antara kebijakan, perencanaan, penganggaran dan pelaksanaannya; (ii) penggunaan klasifikasi menurut GFS manual; (iii) penganggaran yang berhorizon lebih dari satu tahun (MTEF); dan (iv) penganggaran yang berdasarkan kinerja (Performance Based Budgeting). Sedangkan reformasi anggaran tersebut terdiri dari empat komponen, yaitu: (1) unified budget; (2) budget classification (klasifikasi anggaran) menurut GFS (government Finance Statistic), mapping program yang hendak dilaksanakan dalam klasifikasi fungsi dan klasifikasi ekonomi sesuai UU No. 17 tahun 2003; (3) MTEF meminta Departemen/Lembaga mencatat kebutuhan dana pada TA. 2006 untuk program yang telah ditetapkan pada TA 2005; dan (4) penganggaran berbasis kinerja, meminta Departemen/Lembaga mencatat keluaran (output) yang hendak dicapai pada TA 2005. Rencana tindak (plan action) dari program GFMRAP ini dikelompokan dalam empat klasifikasi, yaitu: (1) planning and budgeting process (termasuk unified budget); (2) budget classification (GFS); (3) MTEF dan Forward Estimate; dan (4) performance based budgeting (PBB).



2.      Hasil Negatif
Sebetulnya ada beberapa hasil negatif yang dapat penulis kumpulkan sejauh ini. Walaupun demikian, dalam makalah kecil ini penulis hanya akan memaparkan dua saja, yaitu: (1) issu perberasan nasional; dan (2) issu lembaga penjaminan simpanan (LPS) sebagai ganti dari the blanket guarantee system.
a.      Issu perberasan nasional
Issu perberasan nasional masuk dalam wilayah issu-issu kontinjensi fiskal Indonesia melalui transmisi pembelian gabah petani, pembelian dan penyaluran beras untuk masyarakat miskin (Raskin), operasi stabilisasi harga, dan termasuk pengadaan dan pemeliharaan stok beras Bulog. Kontinjensi fiskal ini bersifat eksplisit dan implisit. Eksplisit jika dana untuk kegiatan-kegiatan perberasan nasional tersebut sudah dimasukan dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) dan realisasinya cenderung menjadi rutin. Implisit jika pos-pos pengeluaran itu merupakan cadangan untuk mendanai kegiatan perberasan nasional. Atau, kebutuhan dana untuk kegiatan perberasan nasional itu menjadi melonjak tajam dan dapat saja melebihi pagu yang sudah ditetapkan oleh APBN. Dalam hal ini, Pemerintah terpaksa mengalokasikan dana oleh karena kewajiban moral dan atau karena adanya tekanan politis dan kelompok kepentingan yang kuat. Pertanyaannya sekarang adalah apakah ada indikasi yang kuat bahwa Pemerintah sudah dan atau akan menangani kontinjensi fiskal perberasan nasional ini dengan baik?
Pertanyaan tersebut dapat dijawab melalui tiga pendekatan: (1) efektivitas kebijakan stabilisasi harga; (2) efektivitas dan efisiensi kebijakan pembelian gabah/beras Bulog; dan (3) efektivitas dan efisiensi pengelolaan stok beras nasional.
Kebijakan stabilisasi harga terkait erat dengan beban kontinjensi fiskal Indonesia. Harga beras yang tinggi dan fluktuatif akan memaksa Pemerintah untuk melakukan intervensi baik melalui operasi pasar murni (OPM) maupun melalui operasi pasar khusus (OPK). Beban fiskal akan semakin tinggi jika Pemerintah harus mengimpor beras dengan volume yang besar dan dalam waktu yang singkat. Hal yang sama juga terjadi dalam kondisi harga beras yang terlalu rendah. Pemerintah perlu melakukan intervensi pembelian gabah petani untuk mengangkat harga ke tingkat Harga Pembelian Pemerintah (HPP). Pembelian gabah petani dalam volume yang besar dan waktu yang singkat juga akan memberikan tekanan fiskal yang tinggi. Selanjutnya, pengelolaan stok beras nasional dapat meringankan dan dapat juga memberatkan beban fiskal Pemerintah. Jika stok beras nasional dapat dikelola dengan baik, maka beban fiskal Pemerintah akan berkurang, dan sebaliknya beban fiskal Pemerintah akan semakin berat. Ketiga pendekatan ini akan penulis diskusikan secara kritis berikut ini.
Langkah strategis untuk menganalisis efektivitas dan efisiensi kebijakan stabilisasi harga beras dan harga gabah petani adalah dengan merujuk ke perubahan peran Bulog dalam dua periode: (1) 1977 s/d 1997 dan (2) Januari 1999 s/d Desember 2002. Dalam periode pertama, Bulog diberikan hak monopoli untuk mengimpor beras dan dalam priode kedua hak tersebut sudah dicabut, sehingga para importir bebas melakukan impor beras. Metodologi untuk mengukur stabilisasi suatu serie yang umum digunakan adalah koefisien variasi (KV). Angka koefisien variasi  yang tinggi menunjukan stabilitas harga yang rendah atau dalam kasus ini menunjukan flukatuasi tingkat harga beras yang lebih tinggi. Sebaliknya, angka koefisien variasi yang rendah terkait dengan stabilitas harga yang lebih tinggi atau, dengan kata lain, fluktuasi harga beras relatif lebih rendah.
Bappenas, et.al (2003) melakukan uji stabilitas harga beras dan gabah kering giling (GKG) untuk kedua periode tersebut diatas dengan menggunakan metode koefisien variasi. Hasil pengujiannya menunjukan bahwa koefisien variasi baik untuk harga beras maupun harga GKG adalah lebih rendah dalam periode Januari 1999 s/d Desember 2002, periode impor beras dibebaskan, dibandingkan dengan yang ada dalam periode 1977 s/d 1997, periode impor beras dimonopoli oleh Bulog. Rata-rata 48 bulan KV untuk harga beras dalam periode monopoli Bulog adalah 12% dan KV-nya sewaktu impor beras dibebaskan hanyalah sebesar 9,7%. Sedangkan rata-rata 48 bulan KV harga GKG dalam periode monopoli Bulog adalah 14,3% dan KV-nya sewaktu impor beras dibebaskan adalah 10,3%.
b.      Issu Lembaga Penjamin Simpanan (LPS)
Kebijakan awal program penyehatan perbankan di Indonesia yang dituangkan dalam Letter of Intent (LOI) dengan IMF bulan Oktober 1997 berisikan empat unsur utama. Pertama, pencabutan izin dan penutupan 16 bank kecil yang sudah sangat tidak sehat. Pemilik bank kehilangan seluruh modal mereka dan simpanan bank sampai dengan 20 juta rupiah (sekitar USD5.600 pada waktu itu) dijamin pengembaliannnya oleh Pemerintah. Dikemudian hari, pada waktu sistem perbankan nasional sudah pulih kembali, skim asuransi simpanan akan diterbitkan. Skim ini akan dirancang untuk meminimalkan moral hazard dan melindungsi deposan s/d jumlah tertentu (deposan kecil). Kedua, menerbitkan kebijakan-kebijakan dan prosedur-prosedur yang tepat guna untuk memungkinkan otoritas pengawas perbankan untuk bertindak dengan cepat menangani bank-bank yang lemah tetapi masih sehat dengan memasukan mereka ini dalam program penyehatan perbankan. Jika bank-bank dalam program penyehatan ini tidak segera pulih kembali mereka akan ditutup. Sekitar 10 bank menyetujui untuk ikut dalam program ini dan mereka akan ditutup pada akhir tahun 1998 jika gagal mendapatkan tambahan modal baru. Dalam waktu yang bersamaan, Bank Indonesia mengucurkan kredit likuiditas kepada bank-bank tersebut, yang tujuan utamanya adalah untuk menjaga agar bank-bank tersebut dapat beroperasi secara normal. Ketiga, bank-bank BUMN diarahkan untuk melakukan merger dan menerapkan berbagai instrumen strategis untuk memaksimumkan penagihan piutang, meningkatkan corporate governance, menoreh manfaat yang setinggi-tingginya dari program privatisasi dan peningkatan partisipasi swasta dalam governance (manajemen dan komisaris). Fakta dan data dikemudian hari menunjukan bahwa pemerintah terpaksa menginjeksi modal kepada bank-bank BUMN dalam jumlah yang sangat besar, dan tidak ada privatisasi bank BUMN sejauh ini. Akhirnya, didalam LOI dikatakan bahwa pemerintah akan memperbaiki kerangka kelembagaan, legal, dan regulasi perbankan. Sebagai contoh, UU dan peraturan yang berlaku tentang bank sentral dan operasi bank-bank umum (komersiel) akan direvisi yang mencakup unsur-unsur international best practices, dan regulasi yang terkait dengan kepemilikan asing atas lembaga keuangan di Indonesia akan dimodifikasi untuk memfasilitasi masuknya bank dan pemodal internasional.
Upaya reformasi infrastruktur pengawasan sistem perbankan nasional bertujuan bagaimana agar resiko bisnis suatu bank harus ditanggung sendiri oleh para pemilik dan kreditur bank itu sendiri (pemilik simpanan bank disana). Dengan kata lain, resiko kegagalan suatu bank harus dicegah untuk dialihkan ke APBN yang nota bene adalah pengalihan beban ke rakyat banyak lebih-lebih kepada mereka yang sangat miskin dan belum pernah menginjakkan kakinya di bank yang manapun. Di sisi lain, a systemic bank run on (lumpuhnya sistem pembayaran), yang mengandung eksternalitas negatif yang besar, perlu untuk dicegah. Bagaimana caranya?
Pola yang diterapkan oleh Argentina adalah membekukan untuk sementara seluruh simpanan pada bank bermasalah itu tetapi hal ini menyebabkan penutupan sistem pembayaran dan dampak negatifnya adalah demikian besar. Pola penjaminan semua simpanan bank (the blanket guarantee) yang berlaku di Indonesia dewasa ini walaupun berhasil mengatasi kelumpuhan sistem pembayaran tetapi biayanya sangat-sangat tinggi dan terlebih lagi jauh dari rasa keadilan.
Kebijakan alternatif yang sedang dibahas saat ini mencakup pendirian Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) yang mirip-mirip the FDIC Amerika Serikat. Sama halnya seperti the FDIC, hanya deposan kecil saja yang akan di jamin oleh LPS. Settingnya juga kurang lebih sama ketika terjadi penutupan 16 bank pada awal krisis tahun 1997. Segera, jika ada indikasi suatu bank tidak solvent lagi, rush akan terjadi utamanya bersumber dari penarikan dana oleh deposan besar dan untuk mengatasi hal ini LPS, yang juga lembaga pemerintah, terpaksa mengambil langkah pemberian Blanket Guarantee kembali. Beban sektor swasta kembali dipikul oleh sektor publik; masyarakat banyak. Skenario seperti itu pernah terjadi, antara lain, di Amerika Serikat dalam tahun 1984 ketika terjadi krisis pada bank The Continenatal Illinois. The FDIC yang semulanya hanya menjamin para deposan kecil, s/d US$100,000.00, terpaksa harus menjamin seluruh simpanan bank nasabah The Continetal. “On May 17, the FDIC announced that it would guarantee all of Conteinental Illinois’s deposits—not just those for $100,000 and less.” (Mishkin, 1989, ebit).
Alternatif untuk mencapai tujuan ganda: kegagalan sektor swasta tidak dialihkan ke sektor publik dan sistem pembayaran masih tetap berjalan dengan baik diajukan oleh McLeod (2004). Menurut pendapat pakar ini, hal yang perlu dipertimbangkan untuk mengatasi kemungkinan berulangnya krisis perbankan di Indonesia adalah dengan mengadopsi sistem kebrangkutan sektor swasta non-keuangan di Amerika Serikat tetapi dengan modifikasi kecil untuk penerapan pada sektor keuangan (perbankan). Ringkasan tahap-tahap yang perlu dilakukan adalah sebagai berikut. Jika suatu bank memperlihatkan gejala-gejala yang bermasalah, yang antara lain diindikasikan oleh: (a) merosot tajamnya saldo kliring di Bank Indonesia; dan (b) melonjaknya kenaikan suku bunga interbank untuk bank tersebut, maka regulator dan atau lembaga pengawas perlu dan wajib untuk melakukan: (a) Freezing on new lending and asset acquisitions, and funds withdrawals; (b) Melakukan investigasi dengan cepat, yang hasil investigasi tersebut mencakup: (i)Jika ternyata bank tersebut memang tidak solvent lagi, freezing diperpanjang; (ii) Debt-equity swaps; beban krisis ditanggung oleh pemilik dan deposan dan bukan oleh APBN; (iii) Pembatasan kewenangan top manajemen lama; (iv) Tanggung renteng pemilik lama; (v) Sistem pembayaran masih tetap berjalan dan pemilik simpanan kecil diperkenankan untuk menarik simpanan mereka; (c) Hal-hal yang perlu diwaspadai dari Badan Pengawas: (i) Mengucurkan kredit berisiko tinggi tanpa adanya koleteral yang memadai (ii) Menyembunyikan dan atau memusnahkan dokumen kredit yang sudah dikucurkan; (iii) Mengizinkan deposan menarik simpanan bank mereka; dan (d) Untuk mengatasi hal tersebut diperlukan beberapa tindakan sebagai berikut: (i) Top manajemen Badan Pengawas hanya dan hanya dapat diisi oleh orang-orang yang mempunyai reputasi yang tinggi; dan perlu mengikutsertakan pakar-pakar dan atau praktisi internasional untuk duduk dalam Badan Pengawas.
E. Program fiskal pengimbang yang dikendalikan
Pada umumnya ada 3 corak program fiscal yang dapat dipakai dalam suatu ekonomi yang mengalami kegoncangan konjungtur dalam pendapatan dan lapangan kerja.
Anggaran Belanja yang Seimbang:
1.      program anggaran belanja yang seimbang
2.      rencana ( committee for Economic Development ) C.E.D tenang suatu system yang otomatis fleksibel
3.      program pengimbangan yang dikendalikan
Program anggaran belanja yang seimbang dapat dijalankan dengan dasar pembelanjaan pemerintah yang tetap selama konjungtur, atau dengan dasar menambah pembelanjaan selama tahun yang tidak diperkirakan oleh C.E.D jikalau penerimaan pajak menaik dengan pengeluaran-pengeluaran yang dikurangi depresi jikalau penerimaan pajak menurun.
Bila pengeluaran telah ditetapkan dan tidak berubah selama konjungtur, tingkat pajak akan diturunkan dan dinaikkan dalam masa depresi sehingga dengan, penerimaan akan cukup mengimbangi anggaran belanja yang sudah tetap itu, dalam praktek yang sebenarnya, tujuan yang dicapai dengan apa yang disebut pebiayaan sehat, didalam kenyataannya tidak pernah sepenuhnya terwujud. Dalam masa depresi yang hebat, tidak mungkin mengimbangi anggaran belanja.
a.      Program C.E.D:
Program C.E.D adalah program mengenai anggaran belanja yang disiapkan oleh komite untuk pembangunan ekonomi (C.E.D). Program ini disebut sebagai suatu kebijaksanaan menstabilkan anggaran belanja.
Hal ini memerlukan pengeluaran pemerintah yang tetap selama konjungtur, yang ditentukan atas dasar kebutuhan-kebutuhan social, sesuai dengan nilai yang diletakkan oleh suatu masyaraat demokratis pada dinas pemerintah. Namun hal ini membutuhkan tingkat pajak yang tetap, disesuaikan untukmengimbangi anggaran belanja, misalnya bila 93% dari tnaga buruh dipekerjakan. Menurut anggapan orang, jika 96% dari tenaga buruh telah dipekerjakan, hal itu merupakan keadaan full employment. Pada keadaan full employment, struktur tingkat pajak yang tetap, seharusnya menghasilkan surplus dalam anggarap belanja. Pada saat tingkat lapangan kerja dibawah 93%, akan terjadi deficit karena penerimaan pajak akan jatuh kalau pendapatan menurun.
Laporan C.E.D itu menggambarkan suatu kemajuan penting dalam pemikiran fiscal, dibandingkan dari apa yang disebut pembiayaan yang sehat. Pengeluaran yang menimbulkan pendapatan memang diusahakan supaya konstan, akan tetapi lebih banyak uang pajak akan diambil dari umum daripada dibelanjakan oleh pemerintah. Dalam tahun depresi pembelanjaan pemerintah akan melebihi pajak yang diambil dari umum, dan dengan itu akan ikut member sumbangan kepada jumlah pengeluaran, baik pengeluaran pemerintah maupun pengeluaran partikelir.
b.      Kritik dan Anjuran C.E.D:
Program C.E.D sangat baik selama dapat dilaksanakan akan tetapi gagal karena tidak memadai. Laporan itu menunjukan mengenai cara, dengan ekonomi modern yang rumit bekerja, program C.E.D adalah program menstabilkan anggaran belanja, yang merupakan anggaran belanja yang distabilkan daripada anggaran belanja yang seimbang, akan tetapi seluruh isi laporan itu mengemukakan lebih banyak fakta yang sesungguhnya dengan rencana C.E.D itu adalah bahwa bukan saja akan beroleh pengangguran ang lebih lama berlangsung, melainkan juga kemunduran dalam pendapatan dan lapangan kerja yang drastis dan lebih tepat.
Program C.E.D tentang budget dan pajak itu menyatakan bahwa kalau ada full employment, anggaran belanja akan sedikit tidak seimbang, program tersebut tidak member jaminan, bahwa system itu akan mencapai full employment, atau dalam keadaan khusus mungkin tidak ada keadaan yang melebihi full employment.
Program C.E.D itu nampaknya cukup memadai kalau ekonomi yang modern cenderung selalu menuju kearah full employment, dengan kegoncangan yang tak seberapa. Anjuran dari laporan ini dikemukakan dengan kepercayaan, bahwa jika digabungkan dengan tindakan layak dibidang lain. Fluktuasi ekonomi akan dapat dibatasi sampai ke tingkat yang sedang dari tingkat yang tinggi. Meskipun demikian tidak pula meniadakan kemungkinan, bahwa barangkali akan menghadapi lagi suatu krisis ekonomi yang besar seperti depresi yang hebat atau inflasi yang lebih besar. Pengurangan atau penambahan dalam tingkat pajak dalam keadaan darurat akan menjadi suatu alat yang paling efektif dan paling tidak berbahaya dari lpangan yang tersedia. Terdapat anggapan bahwa keadaan darurat itu jarang terjadi dan merupakan kekecualian saja.
c.       Program Pengimbang yang Dikendalikan:
Suatu program pengimbang yang memadai, program yag dengan cepat dapat digerakkan, sangat flksibel dan dapat dipakai sebagai alat untuk melakukan penyesuaian serta perubahan dengan segera, tidaklah mungkn dijalankan tanpa rencana jangka panjang dan persiapan termasuk perbaikan dan pembangunan proyek perumahan serta pekerjaan untuk umum. Kemungkinan penyesuaian yang fleksibel dalam program konstruksi dan program pembangunan pemerintah yang lengkap yang berubah dalam jangka panjang. Tetapi program pembelanjaan yang fleksibel tidak cukup. Hal yang amat penting adalah suatu system pajak yang fleksibel, yakni bila ingin melengkapi kebijaksanaan ant konjungtur yang efektif. Ekonomi modern yang bergerak dengan cepat, dengan kecenderungan mengarah ke fluktuasi yang hebat tidak dapat dikendalikan dengan efektif, kalau didasarkan atas struktur pajak yang tidak berubah, yang ditetapkan untuk masa dua tahun atau lebih, atau lebih buruk lagi sepanjang masa konjungtur. Meskipun begitu masyarakat disuatu negara  harus berfungsi, tidak saja sebagai roda pengimbang (mengimbangi fluktuasi di sektor partikelir), melainkan juga sebagai penyelenggara bagi dinas masyarakat yang penting serta untuk proyek pembangunan dasar yang merupakan dasar dan bantuan bagi industry partikelir. Masyarakat yang demikian itu membutuhkan program dari pemerintah yaitu program moneter dan fiscal pengimbang yang dikendalikan.